September 08, 2010

Diskontinuitas Agama Yudaisme dan Kekristenan

Jesus made Capernaum His home during the years of His ministry



I.                   Pendahuluan
Yudaisme sangat erat kaitannya dengan Kekristenan. Bahkan menurut George W. Braswell, Yudaisme adalah dasar bagi Kekristenan.[1] Maka sejarah kekristenan tidak dapat lepas dari sejarah bangsa Yahudi. Bahkan Yesus pun berasal dari bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi dan agama Yudaisme mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk dunia Perjanjian Baru, karena dari sanalah kekristenan lahir. Hampir semua penulis-penulis Perjanjian Baru adalah orang-orang Yahudi yang mempunyai latar belakang agama Yudaisme. Oleh karena itu untuk memahami tulisan-tulisan Perjanjian Baru dengan baik, orang Kristen perlu untuk mengerti tentang agama Yudaisme sebagai pembandingan antara Yudaisme dengan Kakristenan.
Untuk itu dalam paper ini penulis memaparkan secara khusus tentang agama Yudaisme, baik itu latar belakangnya, aliran-aliran yang ada, pilar-pilar Yudaisme yang berhubungan dengan sejarah kekristenan, serta persamaan dan perbedaan yang paling mendasar antara Yudaisme dengan kekristenan.

II.                Agama Yudaisme
2.1. Latar Belakang Agama Yudaisme
Yudaisme adalah kepercayaan yang dianut oleh bangsa Yahudi yaitu penduduk negara Israel maupun orang Israel yang bermukim di luar negeri. Sejarah bangsa Yahudi bermula dari panggilan Allah terhadap Abraham. Namun demikian, agama Yudaisme sebenarnya baru dimulai pada masa diaspora (sejak tahun 734 SM), ketika puluhan ribu orang Yahudi di buang keluar dari tanah kelahiran mereka.[2] Di tanah pembuangan itulah orang-orang Yahudi yang setia kepada taurat mulai merasakan kesulitan besar untuk tetap beribadah dan mentaati hukum dan taurat mereka.
Sebagian dari mereka yang di buang ini mulai tergoda untuk mengadopsi cara-cara hidup kafir, bahkan juga agama kafir. Melihat tantangan yang besar ini mulailah orang-orang Yahudi sadar betapa berharganya kepercayaan yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Oleh karena itu mereka mulai memikirkan tentang bagaimana mempelajari agama nenek moyang mereka yang berisi hukum taurat itu dengan sungguh-sungguh supaya mereka tidak di cemari dengan budaya dan dunia kafir. Dari sinilah Yudaisme secara resmi lahir.
Salah seorang pelopor utama gerakan ini adalah Ezra, ia mengetuai badan yang disebut sinagoge agung. Badan ini terdiri dari 120 orang ini bertugas untuk menghidupkan, memulihkan dan menggolong-golongkan kitab-kitab PL. Tapi akhirnya badan ini diganti dengan dewan Sanhedrin. (Lihat: Dan. 1:5-8; 3:4-7: Ezr. 7:1-6).
2.2. Aliran-Aliran Dalam Yudaisme
Walaupun orang Yahudi memegang hukum agama yang sama (Yudaisme) tapi dalam penafsiran dan tujuannya ada bermacam-macam aliran. Antara lain :
a. Kaum Farisi
Berasal dari kata parash, artinya “memisahkan”. Aliran yang paling berpengaruh dan banyak pengikutnya dalam masyarakat. Mereka adalah para ahli tafsir PL (Tanakh), yang menjunjung tinggi hukum lisan atau adat istiadat nenek moyang yang mereka taati sampai pada hal yang sekecil-kecilnya. Karena keahliannya inilah mereka disebut sebagai ahli Taurat.
b. Kaum Saduki
Nama Saduki berasal dari bani Zadok (Imam Besar). Mereka berjumlah kecil tetapi sangat berpengaruh dalam pemerintahan, karena anggota mereka adalah para imam di Bait Allah di Yerusalem. Pengajaran PL yang mereka terima hanyalah 5 kitab Pentateukh, tidak percaya pada kebangkitan dan hal-hal supranatural, malaikat, atau kehidupan sesudah kematian, tetapi mereka berpegang ketat hanya pada tafsiran-tafsiran harafiah Taurat.[3] (bdk: 2Sam. 15:24-29; Kis. 23:8)
c. Kaum Zelot
Mereka adalah kaum nasionalis fanatik yang ingin melepaskan diri dari penjajahan Romawi.[4] Mereka percaya bahwa Allah adalah satu-satunya pemimpin mereka. Oleh karena itu mereka sering mengadakan pembrontakkan melawan pemerintah Romawi. (bdk: Kis. 5:37; Mar. 12:14).
d. Kaum Esseni
Eseni artinya “saleh” atau “suci”. Keberadaan mereka diakui oleh tradisi sebagai biarawan-biarawan Yahudi yang hidup membujang. Mereka juga menjalankan hidup sederhana dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama.
e. Kaum Helenis
Kelompok ini disebut kaum Helenis karena mereka adalah orang-orang keturunan Yahudi tetapi telah mengadopsi kebudayaan dan bahasa Yunani dan tidak lagi mengikuti tradisi dan adat istiadat Yahudi, kecuali dalam hal iman agama mereka.

III.             Diskontinuitas Antara Yudaisme dengan Kekristenan
Jika di lihat dari segi sejarahnya, kekristenan berkaitan erat dengan Yudaisme. Sebab kekristenan dan Yudaisme sama-sama berasal dari “keturunan” Israel. Hingga pada akhirnya Yudaisme dengan Kekristenan tidak mungkin menjadi saru agama sebab terjadi diskontinuitas. Dibawah ini adalah penjabaran diskontinuitas tersebut ditinjau dari lima pilar penopang Yahudi[5] :
  1. Konsep tentang Allah yang monotheis
Sejak awal sampai akhirnya, pencarian orang Yahudi untuk memperoleh makna dalam kehidupan ini berakar dalam pengertian mereka tentang Tuhan.[6] Konsep ke-Tuhanan dalam agama Yudaisme adalah monoteisme. Mereka sangat ekstrim dalam hal ini. Sehingga bagi mereka, konsep Tuhan yang mengambil beberapa bentuk (misalnya Trinitas) dianggap bidat dalam Yudaisme.[7] Sebab mereka sangat berpegang teguh pada apa yang tertulis dalam Kitab Torah. Misalnya  “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul 6:4). Inilah yang membuat mereka sangat tidak setuju dengan Trinitas dalam Kekristenan.
Jadi dapat dikatakan bahwa perbedaan konsep yang mendasar antara Yudaisme dengan Kekristenan adalah mengenai Kristus. Yudaisme tidak percaya kepada Yesus, tetapi mereka sampai hari ini masih menantikan kedatangan Juruselamat yang dijanjikan. Bagi Yudaisme, kristologi dalam kekristenan telah melanggar monoteisme teologis yang dipertahankan kuat-kuat oleh Yudaisme. Dilihat dari sudut pandang Yahudi, dengan menyetarakan Yesus dengan Allah, kekristenan telah membuat diskontinuitas antara dirinya dengan Yudaisme, meskipun kekristenan tetap mempertahankan kepercayaan monoteistik (Yoh 17:3; 1 Kor 8:4-6; Yak 2:19; 1 Tim 2:5), persisnya monoteisme kristologis.
Dalam Injil Yohanes terlihat tahap-tahap paling awal dari pemisahan kekristenan dari Yudaisme di dalam suatu kawasan lokal tertentu (di Galatia) serta permusuhan tajam yang ditimbulkan oleh pemisahan ini. Penyebab akar dari pemisahan ini adalah kristologi, menyangkut pertanyaan apakah Yesus itu sang Mesias Yahudi yang dinantikan. Orang Yahudi yang mengakui Yesus sebagai sang Mesias dikucilkan dari sinagog (Yoh 9:22; 12:42; 16:2), sebab dalam pandangan otoritas Yahudi, Yesus sama sekali bukan sang Mesias Yahudi karena Yesus tidak memenuhi persyaratan sebagai seorang Mesias.
2. Pemilihan Allah terhadap orang-orang Yahudi
Yudaisme sangat ekslusif, mereka mengklaim bahwa hanya bangsa Yahudi yang merupakan Umat Pilihan Tuhan. Mereka percaya bahwa mereka telah secara khusus dipilih oleh Allah di antara segala bangsa, bahwa Allah yang esa dan satu-satunya telah mengikatkan diri-Nya dengan Israel dan Israel dengan diri-Nya melalui suatu ikatan perjanjian. Namun dewasa ini orang Yahudi sendiri tidak sepaham dalam menafsirkan ajaran tentang bangsa yang Terpilih ini.[8]
Bagi Kekristenan, etnosentrisme Yahudi yang dipertahankan Yudaisme perlu ditolak oleh kekristenan sebab umat Allah juga terdiri atas bangsa-bangsa bukan-Yahudi. Allah tidak dipahami sebagai Allah yang lokal. Dalam hal ini, diskontinuitas antara kedua agama ini sangat tajam. Sebab dasar kekristenan dan Yudaisme itu sendiri sudah berbeda. Orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah Mesias, sedangkan orang Yahudi tidak percaya. Bagi kekristenan, Yesus mengajarkan kepada murid-muridnya untuk memberitakan Injil kepada semua orang.
3. Perjanjian yang berpusat pada Taurat
Bagi orang-orang Yahudi, Allah Sang Pencipta dunia mengikat Perjanjian dengan umat Israel, bahwa Allah akan menjadi Allah mereka dan Israel akan menjadi umat-Nya dan bahwa Ia akan menyelamatkan bangsa Israel dari penindasan di Mesir, serta menurunkan undang-undang Tuhan (Torah) kepada mereka.[9] Jadi salah satu bagian Perjanjian itu adalah pemberian Taurat.[10] Sebagai respons orang Israel terhadap ikatan perjanjian itu, yang menjadikan mereka umat khusus kepunyaan Allah, mereka harus menaati Taurat dengan sepenuh hati mereka, dengan seluruh cara kehidupan mereka sebagai umat perjanjian.
Bagi Kekristenan, meskipun Rasul Paulus dalam Roma 14-15:13 memberi tempat penting bagi Taurat, tetapi ia menyatakan bahwa Kristus adalah kegenapan hukum Taurat (10:4). Karena Kristus telah datang, maka hukum Taurat sudah digenapkan dalam diri Kristus. Selama orang masih berada di bawah hukum Taurat, dosa berkuasa atas dirinya; tetapi kalau orang sudah di bawah karunia Allah melalui iman kepada Yesus Kristus, dia sudah dibebaskan dari dosa. Itulah yang menjadi diskontinuitas antara Yudaisme dengan kekristenan.
4. Tanah yang berpusat pada Bait Allah
Allah sudah mengawali ikatan perjanjian dengan Abraham yang disertai dengan janji pemberian tanah kepadanya dan kepada keturunannya (Kej 12:1-3; 15:1-6; 15:17-21; 17:1-8). Dalam kehidupan yang dijalani Israel di tanah yang dijanjikan, Bait Allah di Yerusalem merupakan pusat kehidupan nasional dan keagamaan mereka. Seluruh sistem pemberian kurban, kultus, pendamaian dan pengampunan, yang sangat mendasar bagi Yudaisme seluruhnya terfokus pada Bait Allah. Umat Allah dan tanah perjanjian, dan pelaksanaan Taurat, semuanya terfokus pada Yerusalem dan Bait Allah yang ada di dalamnya.
Kritik tajam kekristenan terhadap Bait Allah adalah bahwa Bait Allah di Yerusalem “dibuat oleh tangan manusia”, jadi fokus utama bukanlah Bait Allah itu sendiri, tetapi seharusnya yang menjadi fokus utama adalah Allah. Kritik ini sudah dimulai oleh Yesus sendiri, ketika dia menyerang Bait Allah (Mark 11:15-19; 14:58; 15:29). Penyerangan terhadap Bait Allah yang dilakukan Yesus adalah salah satu sebab mengapa orang Yahudi tidak bisa menerima Yesus sebagai sang Mesias, sebab, dalam tradisi Yahudi (dalam Kitab Suci Ibrani, Pseudepigrafa, dan Apokrifa) tidak ada seorang Mesias Yahudi yang dengan terbuka menyerang Bait Suci; justru adalah tugas seorang Mesias untuk menjaga, mempertahankan dan melindungi Bait Allah supaya tidak diganggu-gugat oleh siapapun.[11] Inilah yang menjadi perbedaan kembali bagi Yudaisme dengan kekristenan.
5. Konsep Ibadah
Keputusan yang mengatur dalam Yudaisme bukanlah kepada seseorang ataupun kelompok orang dalam Yudaisme, akan tetapi hanya berasal dari tulisan-tulisan, hukum, dan tradisi. Demikian pula dengan mereka. Dalam hal ini Kekristenan sangat berbeda dengan Yudaisme. Sejak Yohanes Pembaptis muncul, maka selesailah fungsi Yudaisme. Oleh sebab itu simbol nama, simbol hari, dan simbol binatang korban, yang ada dalam tradisi Yudaisme sudah berlalu bagi orang percaya. Kemudian dimulailah masa ibadah yang rohaniah (Yoh.4:23). Di dalam ibadah Kristen, yang disembah bukan lagi simbol, melainkan Allah yang disembah. Kesucian yang ditekankan dalam ibadah adalah kesucian hati bukan jasmani. Dengan demikian terjadilah diskontinuitas antara ibadah Yudaisme dengan ibadah kekristenan.
IV.             Kesimpulan
Agama Yudaisme memiliki 5 aliran yakni Farisi, Saduki, Zelot, Esseni, dan Helenis. Berdasarkan sejarah, agama Yudaisme adalah agama yang sangat erat dengan Kekristenan. Namun keduanya terdapat diskontinuitas yang mencolok. Yaitu : (1) konsep monotheisme. Yudaisme memiliki konsep yang sangat ekstrim, sehingga tidak mampu mempercayai Yesus sebagai Mesias; (2) Yudaisme memangdang Allah sebagai Allah yang lokal, sedangkan kekristenan universal; (3) Yudaisme masih memegang covenant berdasarkan Taurat, tetapi kekristenan memahami bahwa perjanjian tersebut telah di genapi oleh Yesus; (4) dalam Yudaisme bait Allah merupakan hal yang central. Tetapi bagi kekristenan centralitasnya adalah Allah; (5) konsep ibadah Yudaisme masih menjunjung tinggi tulisan, hukum, tradisi, dan simbol-simbol. Tetapi dalam kekristenan yang ditekankan dalam ibadah adalah kesucian hati.


Daftar Pustaka

Braswell, George W, Understanding World Relogions, Tennessee : Nashville, 1994.
Fackenheim, Emil L, What Is Judaism?, USA : Syracuse University Press, 1999.
Fishbane, Michael A, Judaism, San Francisco : Harper & Row Publisher, 1987.
Foerster, Werner, From The Exile to Christ, Philadelphia : Fotress Press, 1981.   
Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Taylor, Justin, Asal Usul Agama Kristen, Yogyakarta : Kanisius, 2007.


[1] George W. Braswell, Understanding World Relogions, (Tennessee : Nashville, 1994), hlm. 81.
[2] http://www.pesta.org/ppb_pel02
[3]  Werner, Foerster, From The Exile to Christ, (Philadelphia : Fotress Press, 1981), hlm. 163.
[4] Ibid, hlm. 164.
[5] Istilah ini digunakan oleh Iohanes Rahmat. Ia mengungkapkan bahwa ada 4 pilar yang menopang agama Yahudi. Sebab kekristenan Perjanjian Baru (yang sebetulnya juga tidak monolitis) memberi respons pada pilar-pilar Yudaisme ini. Namun disini penulis membaginya menjadi 5 pilar.
http://www.ioanesrakhmat.com/2009/07/pilar-pilar-yudaisme-periode-bait-allah.html.
[6] Ibid, hlm. 300.
[7] http://wapedia.mobi/id/Dasar-dasar_iman_Yahudi
[8] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 347. 
[9]  George W. Braswell, Understanding World Relogions, (Tennessee : Nashville, 1994), hlm. 82.
[10] Dapat di lihat dari keseluruhan Kitab Ulangan. 
[11]  http://www.ioanesrakhmat.com/2009/07/pilar-pilar-yudaisme-periode-bait-allah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar