Oktober 25, 2010

KONSEP KESELAMATAN DALAM TEOLOGIA PETRUS


I.                   Pendahuluan
Surat-surat Petrus, baik yang pertama maupun yang kedua adalah surat-surat yang pendek namun di dalamnya terdapat banyak ulasan yang berhubungan dengan keselamatan. Petrus tentunya memiliki pandangan yang khas ketika ia berbicara mengenai keselamatan. Untuk itu, berdasarkan surat-surat Rasul Paulus tersebut, penulis akan membahas mengenai konsep keselamatan Petrus, respon manusia terhadap keselamatan, dan aplikasinya bagi orang yang telah diselamatkan oleh Kristus.

II.                Arti ”keselamatan” menurut Petrus
Di dalam surat-surat Petrus, istilah-istilah yang dipergunakan untuk mengungkapkan konsep keselamatan ialah soteria, salvation - keselamatan (I Pet. 1:5; 2 Pet. 3:15); anagennesas, have been born anew - dilahirkan baru (1 Pet. 1:18); elutrothete, to be ransomed - ditebus (1 Pet. 1:18). Ketiga istilah tersebut mengasumsikan beberapa hal sebagai berikut:[1]
1. Manusia itu berada di bawah kontrol suatu kuasa sehingga kehilangan kebebasan sejati.
2. Manusia tidak berdaya menyelamatkan dan membebaskan dirinya sendiri.
3. Manusia memerlukan intervensi dan bantuan pihak ketiga untuk diselamatkan dan memperoleh kembali keselamatannya.
4. Pihak ketiga membayar harga tebusan untuk membebaskan manusia.
5. Keselamatan dan etika erat hubungannya sehingga keselamatan itu dibarengi
dengan lahir baru.

III.             Konsep Keselamatan Menurut Teologia Petrus
2.1. Konsep keselamatan
1. Keselamatan erat hubungannya dengan pemilihan dari Allah Tritunggal
Di dalam 1 Petrus 1:1-2 dikatakan:

“Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, …. yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.”

Di sini keselamatan diungkapkan dalam tiga pengertian: “dipilih”, “dikuduskan”, “taat dan menerima percikan darah-Nya”. Di dalam ketiga pengertian itu Allah Bapa, Roh Kudus dan Yesus Kristus bekerja bersama-sama. Dari pernyataan Petrus ini, dapat disimpulkan pula bahwa keselamatan itu erat hubungannya dengan pemilihan yang berasal dari Allah Bapa sesuai dengan rencana-Nya yang kekal. Keselamatan direncanalan sejak kekekalan (1 Pet.1:20), tetapi dinyatakan dalam sejarah.[2] Pemilihan Allah di dalam Perjanjian Lama yang merupakan karakteristik bangsa Israel (Ul. 14:2; Yes. 45:4), di sini dikenakan kepada masyarakat Kristen sebagai Israel baru (1 Pet. 2:9-10).[3]
Peran Roh Kudus dalam keselamatan sangat penting. Karena pekerjaan Roh Kudus di dalam pengudusan itulah maka orang-orang yang diselamatkan beroleh hidup baru dan mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Ini merupakan proses penting di dalam keselamatan.[4] Pekerjaan Keselamatan dari Allah di dalam Kristus itu sedemikian rupa sehingga orang-orang percaya disebut ciptaan baru. Ini dimungkinkan oleh kuasa Allah yang dinyatakan di dalam pekerjaan Roh Kudus.
2. Keselamatan hanya karena anugerah Allah
Petrus selanjutnya menekankan bahwa Allah yang menyelamatkan itu adalah Allah yang penuh rahmat dan anugerah. Ketika berbicara tentang keselamatan, Petrus menyebut Allah sebagai Allah sumber segala kasih karunia atau anugerah (1 Pet. 5:10). Bagi Petrus kasih karunia atau anugerah Allah itu sangat prinsipil sehingga ia dapat menasihatkan: “..... letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus” (1 Pet. 1:13). Pernyataan ini pertama-tama mengingatkan bahwa di dalam konsep keselamatan rasul Petrus, anugerah itu sangat penting. Yang kedua, anugerah Allah itu tidak akan habis sampai kedatangan Kristus kembali. Kata dianugerahkan pada ayat di atas di dalam bahasa Yunani ditulis dalam bentuk present participle. Present continuous tense dari participle ini mengindikasikan bahwa kapan saja Kristus dinyatakan, pada masa lampau, sekarang, atau yang akan datang, anugerah/kasih karunia Allah selalu dicurahkan.[5] Oleh sebab itu Leon Morris menekankan: “Kasih karunia adalah kebiasaan Allah yang terus menerus.” Kasih karunia juga selalu dihubungkan dengan kehidupan orang-orang yang diselamatkan (1 Pet. 3:7; 5:5), sehingga Petrus menasihatkan orang-orang percaya untuk menjadi “pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Pet. 4:10). Ini berarti bahwa Allah memberikan kasih karunia kepada orang-orang percaya untuk menghadapi bermacam-macam situasi yang mereka hadapi di dalam kehidupan sehari-hari dan mereka harus mempertanggung-jawabkannya.
3. Kesengsaraan Yesus dan Kematian-Nya merupakan proses penebusan
Di satu pihak Petrus melihat bahwa keselamatan itu berasal dari kehendak Allah Bapa, di lain pihak Petrus juga yakin bahwa keselamatan itu dilaksanakan melalui jasa dari pekerjaan sang Anak. Petrus yakin benar bahwa kematian Kristus merupakan titik yang terpenting di dalam pekerjaan Kristus untuk keselamatan manusia. Oleh karena apa yang telah dikerjakan di bukit Golgota, maka saat ini manusia diperdamaikan dengan Allah. Di dalam pembukaan suratnya, Petrus menyebutkan “percikan darah Kristus” (1 Pet. 1:2).[6] Darah itu sendiri mungkin berarti kematian yang keras dan kejam, tetapi “percikan darah” menunjuk pada “kurban”. Saat yang paling khidmat di dalam persembahan kurban di atas mezbah itu ialah saat darah kurban dipercikkan ke atas mezbah oleh imam. Jelaslah bahwa istilah “percikan darah” itu menyatakan bahwa Petrus melihat kematian Kristus sebagai kurban.
Berulangkali Petrus mengatakan bahwa Kristus adalah Juruselamat (2 Pet 1:11; 2:20; 3:2, 18).[7] Petrus menekankan bahwa dalam karya keselamatan Kristus, Yesus : Ia adalah korban yang sempurna, seperti domba yang tak bercacat dan bercela (1 Pet.1:19); Ia tidak berdosa(1 Pet.1:22); Ia mati sebagai pengganti sekali untuk semua, yang tanpa salah bagi orang yang bersalah (1Pet.3:18). Petrus menekankan tindakan, bahwa ia dibunuh untuk manusia. Kata ganti menekankan bahwa Kristus mati bagi orang berdosa (1 Pet.2:24). Ia menebus mereka dari perbudakan dosa (1 Pet.1:18).[8] Ia menyelesaikan keselamatam melalui kebangkitan-Nya, memberikan orang percaya suatu hidup yang penuh pengharapan. (1 Pet.1:3).[9]
Sepanjang suratnya Petrus selalu mengingatkan jemaat kepada pengorbanan salib sehingga darah Kristus itu tidak bisa berarti lain dari pada kematian dan kesengsaraan Kristus. Selanjutnya, Petrus menyatakan kematian Kristus sebagai suatu proses penebusan (1 Pet. 1:18). Kata elutrothete - ditebus, berasal dari kata lutroo yang berarti dibebaskan dengan tebusan. Penebusan Kristus ini lain daripada yang lain karena Kristus tidak menebus dengan barang yang fana, perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal atau dalam bahasa Inggris precious. Precious atau mahal mengandung dua maksud. Yang pertama, mahal dalam arti nilainya mahal; dan yang kedua, mahal dalam arti sangat dihargai dan dimuliakan. Darah Kristus memang mahal dan mulia karena darah itu darah Anak Allah yang telah berinkarnasi.[10] Keselamatan bagi manusia dijadikan oleh Kristus dengan melakukan penebusan dengan darah-Nya yang indah.
4. Orang yang diselamatkan harus mempertanggungjawabkan keselamatannya
Oikonomos, pengurus rumah ialah suatu kata yang melukiskan seorang hamba yang diserahi kepercayaan untuk mengurus harta benda tuannya. Hamba semacam ini mempunyai kebebasan yang cukup, namun ia harus bertanggung jawab di hadapan tuannya. Petrus menggunakan gambaran ini untuk menunjukkan bahwa orang-orang yang diselamatkan itu tidak memiliki apa-apa yang berasal dari dirinya sendiri, tetapi segalanya berasal dari anugerah Allah.[11] Pada saat yang sama Petrus juga menunjukkan bahwa orang-orang yang diselamatkan harus menggunakan kasih karunia yang diperolehnya itu dengan penuh tanggung jawab. Kasih karunia tidak menganjurkan ketidak bertanggung jawaban. Selain kasih karunia yang harus dipertanggungjawabkan, pada saat yang sama kasih karunia Allah itu juga memelihara orang-orang yang diselamatkan sampai selama-lamanya (1 Pet. 3:12).
5. Orang yang diselamatkan mengalami kelahiran baru
Selanjutnya Petrus dua kali menyebutkan bahwa Allah melahirkan kembali orang-orang yang percaya (1 Pet. 1:3; 23). Dikatakan di dalam ayat 3 tersebut: “Allah melahirkan kita kembali bukan oleh benih yang fana, tetapi oleh Firman Allah yang hidup dan kekal.” Gambaran tentang kelahiran baru ini memberikan implikasi bahwa seseorang tidak dapat dilahirkan menurut kehendaknya sendiri. Gambaran ini menekankan bahwa di dalam proses keselamatan, unsur ilahi merupakan prioritas dan juga kuasa Allah-lah yang menghasilkan kelahiran baru.
Apa yang terjadi dalam kelahiran baru hanyalah merupakan perkataan yang pertama, perkataan yang terahkir adalah warisan yakni “keselamatan yang telah tersimpan di surga bagi kamu” (1:5). Maka dari itu, “Pengharapan” juga merupakan kata kunci penting dalam surat Petrus.
6. Orang-orang yang diselamatkan akan mengalami penderitaan
Di dalam keselamatan itu orang-orang percaya akan mengalami penderitaan. Dalam pasal 5:8, Petrus menggambarkan situasi yang dihadapi orang Kristen di dunia ini, yaitu terbuka luas pada penganiayaan dan penderitaan. Oleh karena itu keselamatan adalah satu-satunya pengharapan.
Petrus berkata: “Sebab itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu, dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Pet. 2:21). Jelas di sini Firman Tuhan berkata bahwa Kristus di dalam kematian-Nya itu memberikan teladan bagi umat-Nya.[12] Jikalau Kristus memberikan teladan kesengsaraan demi kasih, maka orang-orang yang diselamatkan juga akan mengalami penderitaan karena kebenaran dan kasih. Kristus bukan hanya sebagai Juruselamat dan Penebus saja, tapi Ia juga teladan bagi umat-Nya dalam hal menderita segala kesengsaraan dan ketidakadilan dengan penuh kesabaran.[13]

2.2. Respons Manusia Terhadap Keselamatan
Dalam konsep keselamatan Petrus nyata bahwa Allah Tritunggallah yang berinisiatif dan yang menyempurnakan, namun Petrus juga menekankan perlunya respons dari manusia terhadap keselamatan yang dikerjakan oleh Allah bagi umat-Nya.
  1. Beriman
Petrus tidak beranggapan bahwa keselamatan di dalam Kristus itu datang kepada manusia secara otomatis. Jalan keselamatan itu terbuka lebar dan jika manusia ingin diselamatkan, ia harus memberikan respons terhadap jalan keselamatan itu. Petrus menegaskan bahwa jawaban manusia terhadap jalan keselamatan itu pertama-tama ialah iman (1 Pet. 1:8, 2:6f). Petrus juga mengatakan bahwa Allah sudah membangkitkan Kristus, “sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah” (1 Pet. 1:21). Dalam hal ini iman dihubungkan dengan permulaan keselamatan, namun iman juga harus menjadi unsur penting di dalam kelanjutan perjalanan iman orang-orang yang diselamatkan. kata Yunani untuk iman ialah pistis yang berarti “kepercayaan yang teguh atau keyakinan berdasarkan pendengaran”. Konsep iman di dalam Perjanjian Baru termasuk pengertian intelektual akan kebenaran yang diwahyukan, melakukan tuntutantuntutan kebenaran itu dan keyakinan atau kepercayaan di dalam pribadi yang diwahyukan. Jadi iman itu harus berlaku pada permulaan keselamatan, namun juga berlaku di dalam kelanjutan hidup orang-orang yang diselamatkan sampai akhir hidupnya, karena di mana ada iman di situlah juga ada kemauan untuk bertindak berdasarkan kebenaran itu.
2. Taat
Selain iman, Petrus juga menekankan ketaatan. Tentunya ini berhubungan erat dengan iman. Petrus tidak bermaksud menambahkan apa-apa guna memperoleh keselamatan dalam Kristus. Iman yang sejati mempunyai konsekuensi yang penting bagi kehidupan orang yang diselamatkan, dan Petrus tidak mengabaikan hal ini. Di dalam pembukaan suratnya Petrus menghubungkan taat dengan “percikan darah Yesus Kristus” (1 Pet. 1:2). Manusia dipilih bukan hanya untuk menerima keselamatan melalui darah Kristus, tetapi juga untuk melayani.
Ketaatan bukan suatu pilihan bagi mereka yang mau hidup lebih jauh lagi, tetapi merupakan hakikat hidup orang-orang yang diselamatkan (1 Pet. 1:14). Orang-orang yang diselamatkan adalah anak-anak taat. Ketaatan kepada Allah adalah ciri khas orang-orang yang diselamatkan, bukan aspek sampingan saja. Bahkan Petrus dapat berkata bahwa penerima suratnya telah menyucikan diri mereka oleh “ketaatan kepada kebenaran” (1 Pet. 1:22). Kehidupan yang taat itu harus dinyatakan di dalam perubahan hidup dan karakter orang-orang percaya. Orang-orang yang diselamatkan harus menjadi suci di dalam segala perilaku kehidupan mereka, bukan karena adanya peraturan-peraturan yang abstrak, tetapi karena Allah yang memanggil mereka itu suci (1 Pet. 1:15-16).
3.      Hidup dalam kebenaran
Salah satu bagian yang paling bermakna di dalam pembicaraan Petrus tentang keselamatan ialah: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh- Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran .....” (1 Pet. 2:24). Jikalau seseorang telah diselamatkan, maka orang tersebut lahir kembali/baru dan dengan bersandar pada Roh Kudus ia dapat hidup untuk kebenaran. Sebab itu pada pembukaan suratnya, Petrus menyinggung hal “dikuduskan oleh Roh” (1 Pet. 1:2). Ini berarti bahwa di dalam proses penyerahan diri orang-orang yang diselamatkan itu, Roh Kudus memisahkan orang-orang percaya untuk dikuduskan bagi pelayanan Tuhan. Dengan perkataan lain Petrus mengungkapkan supaya orang-orang yang diselamatkan itu “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Pet. 1:4).  
4. Mau menanggung kesengsaraan dan penderitaan
Hidup yang taat ini tentu diikuti juga oleh kesengsaraan atau penderitaan. Kesengsaraan atau penderitaan ini merupakan konsekuensi dari iman Kristen. Orang-orang yang diselamatkan itu dipanggil untuk maksud tersebut (1 Pet. 2:21). Hal itu bukan hal yang mengherankan atau yang luar biasa (1 Pet. 4:12). Jelaslah sudah bahwa penderitaan itu juga merupakan bagian yang wajar di dalam proses keselamatan orang percaya. Namun demikian, Petrus sama sekali tidak pesimis. Ia berkata: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Pet. 5:7). Bahkan Ia menambahkan: “Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu sesudah kamu menderita seketika lamanya” (1 Pet. 5:10). Petrus berpegang pada pengharapan bahwa penderitaan orang-orang beriman akan berlangsung “seketika lamanya”, tetapi Allah akan menguatkan mereka.[14]

IV.             Kesimpulan dan Aplikasi
4.1. Kesimpulan
Dalam Teologi keselamatan Petus, jelaslah bahwa Petrus mempunyai pandangannya sendiri yang khas. Ia memandang dengan jelas kedaulatan Allah di dalam karya keselamatan-Nya. Orang-orang yang diselamatkan-Nya adalah orang-orang yang dipilih-Nya. Jalan keselamatan itu berasal dari Allah sendiri. Keselamatan datang melalui pekerjaan Kristus yang disempurnakan di dalam umat-Nya melalui kuasa Roh Kudus.
Petrus juga menitikberatkan bahwa dari pihak manusia keselamatan itu menuntut iman yang menjadi unsur utama bagi permulaan keselamatan orang-orang percaya dan juga bagi kelanjutan hidup orang-orang yang diselamatkan. Sebagai konsekuensi iman itu, orang yang diselamatkan harus hidup taat dan hidup dalam kebenaran sebagai ciri khas orang yang sudah bertobat. Tentunya hal itu akan disertai juga oleh penderitaan  bagi umat-Nya yang merupakan hal yang lazim akan dialami oleh orang-orang percaya.

            Aplikasi
Aplikasinya bagi orang yang telah diselamatkan oleh Kristus, saat ini adalah:
1.      Sebagai orang Kristen yang mengaku telah diselamatkan, hendaknya memahami bahwa keselamatan itu didapat bukan berdasarkan kemampuan sendiri untuk memperolehnya, melainkan hanya karena kasih karunia Allah. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi orang Kristen untuk tidak bersyukur dan memuliakan Tuhan untuk anugerah keselamatan ini.
2.      Anugerah keselamatan yang telah diberikan Allah ini bukanlah anugerah murahan, karena Yesus yang mengerjakan karya keselamatan tersebut telah menyerahkan diri-Nya sendiri sebagai korban tebusan bagi umat-Nya. Untuk itu umat Tuhan harus menghargai karya keselamatan tersebut, dengan percaya sepenuhnya kepada Tuhan Yesus dan menyerahkan dirinya yang telah diselamatkan itu untuk hidup seturut dengan kehendak-Nya dan bagi kemuliaan nama-Nya (dengan kata lain, orang Kristen harus mempertanggungjawabkan keselamatan itu).
3.      Menjadi pengikut Kristus bukan berarti luput dari penderitaan, penganiayaan, dan kesusahan. Melainkan menjadi pengikut Kristus harus bersedia mengalami penderitaan oleh karena telah percaya kepada-Nya (1 Pet 4:13). Yesus sendiri telah menderita bagi manusia (1 Pet 2:23) dan menjadi teladan bagi umat-Nya (1 Pet 2:21). Oleh karena penderitaan Kristen itu menuruti teladan Kristus, maka tanggapan orang Kristen seharusnya positif, yaitu dengan menghadapinya dengan sukacita. Sebab penderitaan tersebut mengandung penghormatan dan melalui penderitaan tersebut kesejatian iman Kristen mengalami pengujian. Inilah alasan mengapa hal tersebut harus menjadi pokok sukacita juga (1 Pet 1:6-7). Terlebih lagi, didalam penderitaan tersebut, Allah akan tetap menguatkan umat-Nya (1 Pet 5:10).


























Daftar Pustaka

--------Jurnal Teologi Aletheia – Vol 3 no. 5.  Lawang : ITA, 1998.
Kittel, G. and Friedrich, G., Theological Dictionary of the New Testament. Abridged edition, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
Morris, Leon, Teologi Perjanjian Baru.  Malang : Gandum Mas, 1996,
Gutrhrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru 1. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992.
Ladd, George Eldon, Teologi Perjanjian Baru.  Bandung : Kalam Hidup, 2002.


[1] --------Jurnal Teologi Aletheia – Vol 3 no. 5, ( Lawang : ITA ), hlm. 53.
[3] Teori penebusan seperti yang diungkapkan oleh Alan Richardson, An Introduction to the Theology of the New Testament, ( New York : Harper & Brother, 1958), hlm. 80-81.
[4] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, ( Malang : Gandum Mas, 1996), hlm. 444.
[5]  --------Jurnal Teologi Aletheia – Vol 3 no. 5, ( Lawang : ITA ), hlm. 53.
[6] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru, ( Bandung : Kalam Hidup, 2002), hlm. 412.
[7] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, ( Malang : Gandum Mas, 1996), hlm. 447.
[9] Ibid.
[10] --------Jurnal Teologi Aletheia – Vol 3 no. 5, ( Lawang : ITA ), hlm. 53.
[11] Ibid.
[12]  Donald Gutrhrie, Teologi Perjanjian Baru 1, ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 254.
[13] G. Kittel and G. Friedrich, Theological Dictionary of the New Testament, (Abridged edition, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co, 1985), hlm. 546.

[14]  Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, ( Malang : Gandum Mas, 1996), hlm. 439.

“Bait Allah” Dalam Kitab Hagai : Makna Teologis dan Aplikasinya Bagi Orang Kristen


I.                   Pendahuluan
Kitab Hagai berisi tentang kumpulan empat Pidato Hagai. Sebagai nabi, Hagai ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan pesan-Nya kepada bangsa Yehuda pada waktu itu. Adapun maksud inti dari tiap-tiap berita yaitu untuk menggerakkan bangsa Yehuda untuk pekerjaan membangun bait suci kembali.
Bait suci dalam Kitab Hagai ini memiliki pesan yang sangat penting dari Tuhan baik dalam konteks zaman dahulu maupun zaman sekarang ini. Untuk itu dalam paper ini penulis akan memberikan keterangan secara deskriptif mengenai kitab Hagai beserta konsep mengenai bait Allah dan memberikan aplikasinya bagi umat Kristen masa kini.

II.                Kitab Hagai
2.1. Penulis dan Kehidupannya
Penulis kitab Hagai adalah nabi Hagai sendiri. Meskipun di dalam Alkitab hanya sedikit sekali informasi yang menerangkan mengenai tokoh penulis tersebut.[1] Sang penulis kitab ini memiliki arti nama “meriah”[2] dan hal tersebut dikarenakan kelahiran Hagai berada pada suatu hari raya keagamaan. Dia mempunyai dua nama jabatan yaitu sebagai nabi (Hag 2:2,11; Ezra 6:14) dan sebagai utusan Tuhan (Hag 1:13). Nabi Hagai ini merupakan nabi yang pertama yang berbicara kepada orang Yahudi yang telah kembali dari pembuangan di Babel.[3] Mengenai kehidupan dari sang nabi ini, dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang yang mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Allah. Sedangkan di dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang nabi, Hagai termasuk ke dalam orang yang “lemah lembut”, maksudnya adalah dia tidak menyampaikan pesan Tuhan dengan menggebu-gebu atau dengan tuduhan yang berapi-api, melainkan ia memberitahukan Firman Tuhan atau nubuatan dengan cara yang baiasa-biasa saja. sehingga banyak orang menganggap dia sebagai seorang guru daripada seorang nabi Tuhan. Dia juga dianggap sebagai seorang diantara kelompok utama orang-orang buangan yang kembali dari Babel yang berdasarkan dekrit Koresy pada tahun 538/7 SM.[4]

2.3. Latar Belakang Penulisan Kitab
Orang-orang Yahudi yang kembali ke Yerusalem yang dipimpin oleh Sesbasar yang bertugas untuk kembali membangun bait Allah.[5] Akan tetapi, ditengah-tengah tugas yang sedang mereka kerjakan tersebut, bangsa-bangsa yang tinggal disekitar orang-orang Yahudi telah membuat mereka kecil hati sehingga pembangunan bait Allah menjadi terhenti untuk jangka waktu yang lama (enam belas tahun). Oleh karena hal itu, Allah mengutus Hagai untuk mendukung semangat orang-orang Yahudi dan mendorong mereka untuk menyelesaikan tugas pembangunan tersebut. Dan pada akhirnya, di bawah pengajaran Hagai, orang-orang Yahudi dapat menyelesaikan pembangunan Bait suci itu dalam waktu empat tahun.
Hagai mendesak orang Yahudi untuk segera menyelesaikan pembangunan bait suci, sehingga dengan demikian dapat untuk memulihkan kembali cara penyembahan mereka yang tradisional.[6]

2.4. Isi Kitab Hagai
Secara umum dapat dituliskan bahwa pengajaran yang disampaikan oleh nabi Hagai sudah termasuk di dalam empat nubuatannya, antara lain:
  1. Pasal 1:1-11, mengenai nubuat untuk membangun rumah Tuhan.
  2. Pasal 2:1-10, mengenai rumah Allah yang megah
  3. Pasal 2: 11-19, mengenai pengajaran-pengajaran imam dan berkat yang tersedia di balik pembangunan rumah Tuhan.
  4. Pasal 2:20-23, mengenai runtuhnya kerajaan-kerajaan dunia.
Mengenai pengajaran tentang Allah, dapat dikelompokkan ke dalam beberapa poin, antara lain:
  1. Tuhan adalah Tuhan semesta alam (Hag 1:2,7,9,14; 2:6-9,11,23).
  2. Tuhan adalah Tuhan yang menuntut (Hag1:2,3; 2:10-14)
  3. Tuhan mengendalikan keadaan ekonomi (Hag 1:5-11)
  4. Tuhan yang menepati janji-janji-Nya (Hag 2:5)
  5. Tuhan adalah Tuhan yang hidup (Hag 2:3-9)
  6. Tuhan memberkati umat-Nya (Hag 2:10-19)
  7. Tuhan memelihara setiap orang (Hag 2:20-23)

III.             Tentang Bait Allah dan Pidato Hagai
3.1. Bait Allah
Kepulangan bangsa Yehuda ke Yerusalem yang berdasarkan keputusan yang dikeluarkan raja Koresy membawa semangat baru bagi bangsa tersebut untuk menjalani kehidupan mereka, bahkan juga, semangat itu semakin menjadi ketika ada perintah mengenai pembangunan bait Tuhan. Setelah pembangunan fondasi bait Allah dapat diselesaikan dengan cepat maka orang Samaria (yang menjadi musuh Yehuda) mencoba untuk menghalang-halangi bangsa tersebut untuk meneruskan pembangunan bait Tuhan (juga tertulis di dalam Ezra 4:1-5). Dan sebagai akibatnya, orang-orang Yahudi menjadi sibuk untuk membangun rumah mereka masing-masing sehingga menyebabkan pembangunan bait Allah terhenti selama enam belas tahun penuh dan hal tersebut telah membuat bait Allah menjadi terlantar dan keadaannya jauh lebih buruk daripada sebelum mereka melakukan pembangunan bait Allah. Dan juga, perlu diberikan catatan pula bahwa, selama bait Allah di Yerusalem belum dibangun, maka tidak ada satupun tempat di dunia di mana Tuhan disembah.[7]
Kejadian yang memalukan ini (karena membiarkan bait Allah hanya berupa fondasi selama enam belas tahun dan tidak mendapatkan penanganan yang baik) ternyata menghasilkan suatu pandangan yang bersifat “ejekan” dari bangsa-bangsa lain yang ada disekitar mereka yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi sebab, mereka berpandangan bahwa orang-orang Yahudi tersebut tidak dapat menghargai Allahnya dengan baik. Bangsa-bangsa lain tersebut bertindak demikian sebab pada zaman itu, suatu bangsa dapat dikatakan menghargai allahnya apabila terdapat kuil untuk menyembah allahnya dan seberapa megahnya kuil tersebut.
Nabi Hagai mulai berkhotbah (memulai pelayanannya) yaitu sekitar bulan Agustus dan  November pada tahun 520 SM. Ketika itu, tahta pemerintahan berada pada raja Darius I (Histapes) dari persia yang memerintah pada tahun 522-486 SM.[8] Pada waktu itu Yerusalem masih merupakan suatu masyarakat kecil yang miskin dengan jumlah penduduk kurang lebih sekitar 20.000 jiwa. Pada saat-saat itu juga mereka juga tengah mengalami masa panen yang buruk (banyak dari hasil panen mereka mengalami kegagalan). Jadi, masyarakat pada saat itu merupakan suatu masyarakat yang hidupnya harus bekerja keras untuk dapat mempertahankan hidup.[9] Situasi yang seperti ini juga terlihat di dalam kitab Hagai 1:6 (dan sebagai perbandingannya dapat juga dilihat di dalam Zakharia 1:11). Dengan melihat keadaan yang seperti itulah (kondisi masyarakat yang kualitas karakternya rendah dan perhatian masyarakat yang hanya berpusat pada perbaikan diri sendiri), maka masyarakat juga menjadi tidak bersemangat di dalam mendengarkan khotbah nabi Hagai, apalagi mereka berpendapat bahwa waktu itu bukanlah waktu yang tepat untuk untuk mengeluarkan tenaga dan harta untuk membangun rumah Allah.
Pada akhirnya, pembangunan bait Tuhan ini dapat dimulai kembali pada hari ke-24 bulan ke-6 pada tahun ke-2 pemerintahan Darius (sekitar bulan September-Oktober tahun 520 SM) dan dapat diselesaikan pada hari ketiga dalam bulan Adar dalam tahun ke enam pemerintahan Darius (Februari atau Maret 516 SM, Ezra 6:15), dan ketika perayaan Paskah dirayakan pada bulan berikutnya, bait Allah telah berdiri sebagai simbol kemurahan Allah (Ezra 6:19-22).[10]

3.2 Pidato Hagai
            Kitab Hagai ini berisi tentang empat pidatonya mengenai pembangunan bait suci.
Pidato yang pertama (1:2-11) mengandung teguran dan panggilan untuk kembali membangun bait suci. Kegagalan untuk melanjutkan pekerjaan pembangunan itu dikarenakan penundaan dan pementingan diri sendiri bangsa Yehuda pada waktu itu. Ayat 2, “sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali rumah Tuhan”. Boleh jadi mereka sedang menantikan suatu wahyu yang luar biasa dari Allah sebelum mereka hendak memulai tugas mereka dan meneruskan pembangunan tersebut. Hampir tidak masuk akal bahwa umat Allah menunggu begitu lama untuk membangun bait Allah.[11] Seharusnya mereka tidak memerlukan perintah yang khusus untuk membangun dan menghiasi rumah Tuhan. Maka dari itu Hagai menghimbau agar mereka mau membangun bait suci dengan kerelaan hati, menurut hati nurani mereka sendiri (ay 5-7). Ada sesuatu yang tidak beres dalam “keadaan” mereka, sebab berkat Allah tidak di atas mereka. Meskipun sekarang mereka tinggal dalam rumah-rumah yang bagus, namun panen mereka hanya sedikit dan kesehatan mereka lemah (ay 6, 9, 10, 11). Mereka telah mengharapkan panen yang melimpah namun mereka telah menuai kurang dari pada yang telah mereka tabur (ay 6). Ketika mereka menyimpan hasil yang sedikit itu di lumbung mereka, Allah telah “menghembuskannya” seolah-olah itu sekam belaka. Allah pun menahan air yang diperlukan dan merintangi hasilnya (ay 10). Allah memanggil kekeringan datang atas negeri itu sehingga penen mereka tidak membuahkan hasil (ay 11). Penyebab semua malapetaka itu adalah sifat mementingkan diri sendiri dan kelesuan terhadap tenggungjawab mereka yang utama kepada Allah. Berkat Allah berupa kemakmuran jasmani bukan saja tidak diberikan, melainkan sebaliknya tangan Tuhan menyiksa mereka.
Pidato yang kedua (2:1-9). “Kuatkanlah hatimu” (ay 5) mengindikasikan bahwa Tuhan meyakinkan mereka bahwa Tuhan akan menyertai mereka (ay 6). Ia bermaksud untuk menggenapi janji-Nya bahwa kemuliaan Tuhan akan memenuhi seluruh bumi. Tuhan menjanjikan suatu masa depan bahwa kemuliaan bait suci itu akan jauh melebihi kemuliaan yang ada pada zaman Salomo (hal ini belum ditepati dalam sejarah, namun penggenapannya pada “akhir zaman”).[12]
Pidato yang ketiga (2:11-20). Hagai mengutip contoh dari dua persoalan hukum berkenaan dengan keadaan rohani bangsa itu. Ia menjelaskan kepada mereka bahwa negeri itu telah dicemarkan oleh kelalaian dan ketidaktaatan mereka sendiri. Sebaliknya, kenajisan hati dan hidup mereka akan menajiskan segala persembahan dan semua pekerjaan yang mereka usahakan (ay 15).
Pidato yang keempat (2:21-24). Pada hari yang sama tatkala dinyatakan berkat-berkat jasmani kepada rakyat itu, Hagai mengumumkan berkat-berkat rohani kepada Zerubabel pribadi sebagai pemimpin bangsa dan wakil keturunan raja Daud. [13]

IV.             Makna Teologis Pembangunan Bait Allah dalam Kitab Hagai dan Aplikasinya
3.1 Makna Teologis
Pusat dari teologi Hagai ini sebenarnya berada pada bait suci.[14] Pada waktu itu (dengan situasi yang terjadi pada orang-orang Yahudi), membangun bait Allah ini mempuyai peranan yang lebih penting daripada membangun sebuah istana karena menggambarkan mengenai tempat kehadiran Allah di bumi. Meskipun pembangunan bait Allah ini tidak sehebat bait suci yang pertama tetapi kemegahannya akan melebihi daripada bait suci yang pertama (fasal 2:10) karena digunakan sebagai tempat untuk melayani Allah.
Tentang janji Allah terhadap diselesaikannya bait suci tersebut adalah mengenai berkat yang akan Allah berikan kepada orang-orang Yahudi, sedangkan mengenai janji damai sejahtera yang dijanjikan oleh Allah yang terdapat dalam nubuatan ini adalah akan digenapi melalui kedatangan Kristus.[15]
Allah menginginkan kehidupan umat-Nya berpusat kepada-Nya. Karena pada zaman PL Bait Suci merupakan lambang kehadiran dan perkenan Allah, maka Allah memerintahkan pembangunan Bait Suci menjadi prioritas utama mereka. Dengan demikian Allah mengajarkan orang Yahudi, dan umat-Nya di segala zaman, bahwa Allah harus menjadi yang paling utama di atas segalanya dan dengan demikianlah Ia akan berkenan kepada mereka dan memberkati mereka.

3.2 Aplikasi
            Bagaimanakah kita dapat menarik pelajaran yang relevan untuk orang Kristen masa kini? Ada dua hal yang dapat ditarik pelajaran dari kitab Hagai ini berkenaan dengan pembangunan bait suci.  
  1. Pembangunan rumah Allah tidak hanya dimaksudkan untuk menyediakan pusat ibadat bagi agama Yahudi. Kitab Hagai memperlihatkan bahwa pembangunan itu dihubungkan dengan janji tentang Penebus yang akan datang. Pembangunan kembali Rumah Allah menujukkan bahwa Allah tidak melupakan keselamatan yang dijanjikan-Nya.
  2. Disamping pengharapan tentang Mesianis, yang paling penting sekali adalah agar orang Kristen mampu medudukkan Allah ditempat yang pertama di dalam hidupnya. Prinsip yang diuraikan oleh Allah ini sudah jelas. Bahkan Yesus pernah berkata dengan begitu jelas “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”. Orang Kristen seharusnya tidak egois dengan mengutamakan kepentingan sendiri.




















Daftar Pustaka

____________, Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2004.
C. Hassel Bullock, Kitab Nabi-Nabi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2002.
Dwi Maria, Diktat Mata Kuliah Tafsir PL III : Nabi-nabi – Hagai.
Frank M. Boyd, Kitab Nabi-nabi Keci. Malang : Gandum Mas, 2006.
J.I. Packer, Merrill C. Tenney, William White, Jr., Ensiklopedi Fakta Alkitab 2. Malang: Gandum Mas, 2001.
John Balchin, Intisari AlkitabPerjanjian Lama. Jakarta: Persekutuan pembaca Alkitab, 2000.
Kenneth L. Baker & John R. Kohlenberger, Zondervan NIV Bible Commentary Volume I, Michigan: Zondervan, 1994.
Leon J. Wood, Nabi-Nabi Israel, Malang: Gandum Mas, 2005.
W.S. Lasor, Pengatar Perjanjian Lama 2. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994.


[1] Dwi Maria, Diktat Mata Kuliah Tafsir PL III : Nabi-nabi – Hagai.
[2] J.I. Packer, Merrill C. Tenney, William White, Jr., Ensiklopedi Fakta Alkitab 2, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 1222.
[3] Frank M. Boyd, Kitab Nabi-nabi Kecil, (Malang : Gandum Mas, 2006), hlm. 137.
[4] ____________, Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Ayub- Maleakhi, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2004), hlm. 712
[5] W.S. Lasor, Pengatar Perjanjian Lama 2, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 430.
[6] J.I. Packer, Merrill C. Tenney, William White, Jr., Ensiklopedi Fakta Alkitab 2, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 1223
[7] Leon J. Wood, Nabi-Nabi Israel, (Malang: Gandum Mas, 2005), hlm. 528
[8] ____________, Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Ayub- Maleakhi, hlm. 712
[9] John Balchin, Intisari AlkitabPerjanjian Lama, (Jakarta: Persekutuan pembaca Alkitab, 2000), hlm. 257
[10] C. Hassel Bullock, Kitab Nabi-Nabi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 410      
[11] Frank M. Boyd, Kitab Nabi-nabi Kecil, (Malang : Gandum Mas, 2006), hlm. 141.
[12] Ibid, hlm. 143.
[13] Ibid, hlm. 145.
[14] Kenneth L. Baker & John R. Kohlenberger, Zondervan NIV Bible Commentary Volume I, (Michigan: Zondervan, 1994), hlm. 1508
[15] Ibid., hlm. 1509

Oktober 11, 2010

Homoseksualitas di Dalam Gereja (Pandangan Alkitab Mengenai Homoseksualitas)


I.                   Pendahuluan
Dalam era keterbukaan seperti sekarang ini, semua orang semakin berani dan penuh percaya diri dalam menampilkan eksistensi diri. Setiap orang bebas mengekspresikan siapa dirinya tanpa takut jika ada yang menentang. Jika pada zaman dahulu kaum homoseks malu mengakui bahwa dirinya gay atau lesbi, saat ini mereka sudah berani mengakui jati diri mereka secara terang-terangan di depan publik. Atas nama “persamaan hak”, kaum homoseks memakainya untuk mengkampanyekan homoseksual. Mereka berpendapat bahwa hubungan seks dengan sesama jenis merupakan suatu “gaya hidup alternatif”[1] yang menyenangkan, modern, dan alamiah. Dan barangsiapa yang menentangnya dianggap kurang toleran dalam masyarakat yang majemuk ini. Kaum homoseksual pun mendapat dukungan dari berbagai kalangan (sosial, psikologi, agama, dll). Bahkan saat ini beberapa negara sudah melegalkan perkawinan sejenis, seperti di Belanda, Belgia, Norwegia dan Swedia.
Melihat fenomena seperti ini, mau tidak mau gereja juga harus angkat bicara mengenai hal ini. Walaupun masih lebih banyak gereja yang tidak mentolerir kaum homoseks, namun saat ini sudah mulai banyak gereja-gereja yang mendukung dan mengakomodasi ibadah serta sakramen bagi orang-orang homoseks. Masalah gereja dan homoseksualitas telah menjadi isu yang sangat hangat bagi gereja bahkan hal ini telah menimbulkan perdebatan yang ramai akhir-akhir ini. Beberapa kasus yang ramai dibicarakan contohnya bahwa saat ini sudah ada gereja yang melayani pernikahan bagi kaum gay dan lesbian. Di Malaysia sudah ada gereja yang didirikan secara khusus bagi kaum homoseks. Bahkan baru-baru ini seorang gay sudah dilantik menjadi uskup di New Hampshire.
Pertanyaan yang akan sering ditanyakan mengenai hal ini adalah, apakah benar perilaku homoseks itu normal, wajar, dan bukan dosa? Apakah tindakan yang bijaksana bila orang Kristen mendirikan gereja bagi kaum homoseks, dan memberkati pernikahan dari pasangan sesama jenis? Bagaimanakah seharusnya gereja memperlakukan kaum homoseksual?
Melalui paper ini penulis berusaha mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, serta mengusulkan tindakan-tindakan yang tepat dalam memperlakukan kaum homoseksual kepada gereja. Penulis berharap melalui tulisan yang singkat ini dapat bermanfaat bagi gereja, lebih dari sekedar wacana, tetapi juga relfleksi.

II.                Homoseksualitas Dalam Gereja
2.1.   Definisi dan penyebab
Wikipedia memberi penjelasan, bahwa homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Atau dengan kata lain, homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis.[2] Dalam bahasa Yunani, homoss artinya sama.[3] Homoseksualitas pada laki-laki biasanya disebut dengan gay, dan pada perempuan disebut lesbian. Homoseksualitas, biasanya dibandingkan dengan heteroseksualitas (menyukai lawan jenis) dan biseksualitas (banci).
Menurut Dr. William Consiglio, perilaku homoseksualitas merupakan suatu penyimpangan yang paling umum dilakukan manusia yang merupakan disorientasi seksual.[4] Perilaku homoseksualitas telah menjangkiti begitu banyak manusia dengan tidak memandang usia, strata ekonomi, pendidikan, suku, dan agama. Sampai saat ini jumlah kaum homoseksual semakin hari semakin bertambah. Walaupun pada nyatanya banyak kaum homoseksual yang menyembunyikan identitasnya sehingga mempersulit akurasi laporan, namun banyak laporan yang beredar belakang ini menyatakan bahwa dari 2 hingga 3,3% dari populasi pria adalah homoseksual secara eksklusif.[5] Memang perilaku menyimpang homoseksual sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan Alkitab pun membuat kesaksian. Namun pada zaman ini, tindakan mereka lebih terang-terangan, dan mendapat toleransi dari berbagai pihak, bahkan juga dari gereja.
Ada mitos yang mengatakan bahwa homoseks merupakan bawaan dari lahir. Para aktivis homoseks mengklaim bahwa ketertarikan kepada sesama jenis adalah bawaan dari lahir dan tidak dapat dirubah. Mereka mengutarakan bahwa homoseks bukanlah sebuah pilihan. Karena perilaku homoseks dikarenakan gen/bawaan sejak lahir. Hal ini lah yang terkadang mereka gunakan untuk mempropagandakan homoseks, bahwa perilaku ini adalah perilaku yang alami dan wajar.
Namun para ahli mengatakan bahwa penyebab homoseksualitas itu sendiri sangat kompleks. Seorang psikolog terkenal Amerika yang bernama Clyde M. Narramore menyebutkan bahwa “umumnya homoseksualitas merupakan hasil perkembangan kepribadian yang tidak normal” dan ia menyebut adanya beberapa kondisi yang mungkin menyebabkan hal itu, yaitu: 1) Gangguan hormonal. Namun penelitian-penelitian lebih lanjut belum mendukung. 2) Faktor Genetika. Penelitian-penelitian lebih lanjut juga belum mendukung. 3) Ibu yang dominan; 4) Ayah yang lemah; 5) Orang tua yang kejam; 6) Pernikahan orang-tua yang tidak bahagia; 7) Dimanjakan oleh orang-tua yang sama jenisnya; 8) Pendidikan seks yang keliru. [6]
Lebih jauh, banyak pakar yang menangani kelainan seksual berpendapat bahwa sejatinya homoseksual bukan disebabkan karena faktor genetika, tetapi karena faktor lingkungan, dan  secara khusus yang berhubungan dengan penerimaan/afeksi dari orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Frank Worthen, ia mengatakan :

“Sesudah membimbing ribuan bekas homoseks selama pelayanan sepuluh tahun atau lebih, kami telah belajar banyak mengenai keadaan homoseks. Kami yakin bahwa akar homoseksual yang terdalam ialah retaknya hubungan dalam keluarga yang mengakibatkan ketiadaan rasa memiliki dan dimiliki atau ketiadaan pengakuan.”[7]

Pendapat-pendapat ini cukup membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada orang yang terlahir gay atau lesbi. Masa kanak-kanak adalah masa-masa identitas dan kepribadiannya mulai dibentuk. Dan anak-anak yang mengalami keretakan dalam keluarganya lebih berpotensi untuk menjadi homoseks. Sebab anak itu terpengaruh oleh cara bagaimana ia bereaksi terhadap keretakan dalam keluarga. Gay, lesbi, biseks, umumnya adalah orang yang menderita trauma emosional atau pelecehan seks sewaktu masa kecil dan selanjutnya karena distimulasi oleh rangsangan erotis yang tidak semestinya pada masa remaja mereka. Dalam banyak kasus, sesuatu yang traumatik terjadi dalam kehidupan seseorang yang menciptakan “konflik identitas gender”. Pada akhirnya mengakibatkan penyimpangan emosional yang dapat menjurus kepada homoseks.

2.2. Fenomena homoseksual dalam gereja
Akhir-akhir ini para “teolog gay” telah menyajikan pandangan yang baru mengenai homoseksualitas.[8] Kemungkinan inilah yang membuat Gereja pada saat ini mulai menganggap bahwa homoseksualitas bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Alkitab. Contoh-contoh fenomena yang terjadi dalam gereja saat ini antara lain :
1.      Sudah ada sebuah gereja khusus bagi kalangan homoseksual. Gereja ini sudah didirikan selama tiga tahun terakhir ini di pinggiran Kuala Lumpur. Gereja ini didirikan oleh pendeta Ouyang Wen Feng yang juga seorang gay.
2.      Seorang gay yang bernama Gene Robinson ditahbiskan menjadi Uskup oleh sebuah Gereja Episkopal dari Gereja Anglikan di New Hamspire, Amerika Serikat pada tanggal 2 November 2003. Yang lebih aneh lagi, kebaktiannya dihadiri oleh pasangan gay-nya Mark Andrew, mantan isterinya, dua anaknya, orang tuanya, dan sekitar 50 Uskup Amerika.
3.      Sudah banyak Gereja di Amerika dan Eropa yang mentahbiskan pendeta gay dan lesbian.
4.      Denominasi gereja kaum homoseks pun sudah berdiri, dan di Indonesia sudah ada Gereja cabangnya.
5.      Di Amerika Serikat ada teolog Kristen yang bernama Troy Perry yang berusaha mengembangkan “Teologi Gay’ untuk mengubah pandangan Alkitab dan umat terhadap kaum gay agar mereka juga berkiprah di Gereja. Ia mengatakan bahwa Allah mengasihi setiap orang, termasuk yang homoseks. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya; Tuhan menciptakan orang yang homoseks. Oleh karena itu homoseksualitas merupakan suatu pemberian Allah.
6.      Sinode bersama Italia Waldensian dan gereja-gereja Methodis Protestan sebagai badan tertinggi di denominasi, setuju untuk mengotorisasi berkat dari pasangan yang sama-seks di gereja.
7.      Dsb. (masih banyak lagi fenomena kontemporer tentang homoseksual yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu).

2.3. Beberapa alasan yang menjadi landasan “diterimanya” homoseksualitas dalam gereja
Dalam kalangan Kristen sendiri, terdapat banyak argumen yang dikemukakan untuk mendukung perilaku homoseksual ini, yang kemudian menjadi titik berangkat “diterimanya” homoseksualitas dalam gereja.
a.      Homoseks adalah anugerah Allah. Ini merupakan salah satu argumen yang diberikan oleh Troy Perry, seorang pendeta gay yang telah dikeluarkan dari Gereja Pentakosta, yang berkata, “Allah mengasihi setiap orang, termasuk orang homoseks; Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya; Ia menciptakan orang homoseks; oleh karena itu, homoseksualitas merupakan suatu “pemberian Allah”; Allah menerima saya dan  homoseksualitas saya sebagai sesuatu yang baik; Allah ingin saya mendirikan sebuah gereja untuk kaum homoseksualitas.”[9] Troy sendiri adalah pendiri Metropolitan Christian Church (MCC), sebuah gereja khusus untuk kaum homoseksual.
b.      Alkitab tidak berbicara mengenai homoseksualitas. Akhir-akhir ini para “teolog gay” telah menyajikan pandangan yang baru mengenai homoseksualitas. Seperti Derrick Sherwin Bailey dan John McNeill. Mereka mengatakan bahwa “Allah tidak berbicara mengenai pokok homoseksualitas sebagaimana kita mengenalnya dewasa ini.”[10] Misalnya saja, pendapat mereka bahwa peristiwa Sodom dan Gomora bukanlah merupakan hukuman atas dosa homoseksualitas, tetapi hanya karena mementingkan diri sendiri dan ketidakramahan. Bahkan banyak ahli yang berpendapat bahwa kata yang digunakan untuk istilah “pemburit” tidak ada sangkut-pautnya dengan homoseksualitas.[11]
c.       Homoseksual bukanlah dosa yang mengakibatkan penghukuman dari Allah. Pendapat ini didasakan atas anggapan bahwa hukuman yang diarahkan kepada pelaku penyimpangan seksual dalam surat-surat Paulus merupakan pendapat pribadi dari Paulus sendiri (1 Kor 7:25). Jadi pendapat Paulus yang menentang homoseksual tidaklah mengikat. Demikian juga dengan penafsiran atas Yesaya 56:5, bahwa sida-sida akan dimasukkan ke dalam kerajaan Allah.
d.      Homoseksualitas adalah perilaku yang normal. Seorang teolog Indonesia yang mengatakan bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang wajar dan tidak bertentangan dengan Alkitab adalah Iohanes Rahmat. Dalam artikelnya ia mengatakan :

“Tidak satu pun dari tujuh teks utama tentang homoseksualitas dalam kitab suci gereja yang telah dikupas singkat di atas mengutuk homoseksualitas dan perilaku homoseksual jika homoseksualitas ini dipahami sebagai suatu orientasi genetik seksual seseorang dan jika perilaku homoseksual ini dipandang sebagai suatu relasi homoseksual antar kalangan gay atau antar kalangan lesbian yang dibangun karena kesepakatan kedua mitra, yang dilandasi cinta dan dijaga oleh komitmen untuk membangun suatu persekutuan hidup yang langgeng…
Satu hal penting patut dicatat, bahwa perilaku homoseksual juga diperlihatkan oleh sejumlah binatang. Karena homoseksualitas pada binatang bukan timbul karena pola pergaulan yang tak bermoral, maka homoseksualitas pada binatang harus dipandang sebagai suatu pemberian alam, yang memperkaya kehidupan di Planet Bumi ini.”[12]

e.       Ajaran Gereja tradisional tentang homoseksualitas adalah salah. Hal ini dikemukakan oleh seorang Profesor yang paling terkemuka, yaitu John Boswell melalui bukunya Christianity, Social; Tolerance and Homosexuality. Ia melancarkan argumen filosofis berdasarkan penelitian sejarah dalam usahanya untuk membuktikan bahwa ajaran gereja mengenai homoseksualitas saat ini adalah salah. Ia mengatakan bahwa homoseksual adalah perilaku yang normal.  
Dan masih ada banyak lagi berbagai pendapat dan alasan dari pemikir Kristen sendiri yang membenarkan perilaku homoseksual. Mereka memandang bahwa homoseksual adalah perilaku yang wajar, normal, natural, anugerah Tuhan, tidak bertentangan dengan Alkitab, dsb.

III.             Pandangan Alkitab Mengenai Homoseksual
Dasar perilaku dan keputusan yang benar dalam menghadapi fenomena homoseksualitas yang benar hanya dapat dilihat dari perspektif Alkitab. Untuk itu kita harus melihat apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai hal ini, agar gereja memiliki landasan dalam menghadapi fakta tentang homoseksualitas.
3.1 Allah menganjurkan heteroseksual, bukan homoseksual
Allah menganugerahkan manusia dengan dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia sepasang, yaitu Adam dan Hawa. Keduanya kemudian membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan (Kejadian 1:27-28; 2:20-25). Hasrat seksual yang sejati seperti digambarkan dalam Kejadian 4:1 adalah heteroseksual (laki laki menyukai wanita dan sebaliknya). Allah sejak awal menetapkan hubungan heteroseksual ketika Dia menciptakan “laki-laki dan perempuan”.[13] Ini berarti heteroseksual adalah perilaku yang normatif. Lagipula Alkitab sering menggambarkan relasi antara Allah dan bangsa Israel (umat-Nya) seperti hubungan suami-istri.
Allah tidak pernah menciptakan seseorang dengan natur homoseksualitas. Dengan dasar ini pula penulis menolak pendapat yang mengatakan bahwa seseorang berperilaku homoseksual karena faktor genetika. Mengapa? Karena bila faktor genetika dapat diterima, maka sebenarnya kita sedang mengatakan bahwa Allahlah yang menciptakan natur homoseksualitas sejak manusia dalam kandungan (bnd. Maz 139:13). Namun, karena Alkitab tidak pernah memberi indikasi bahwa Allah menciptakan hal itu, maka kita dengan pasti dapat menolak faktor genetika (yang mengindikasikan sesuatu yang normal) sebagai penyebab homoseksualitas.

3.2 Allah menciptakan lembaga pernikahan bagi laki-laki dan perempuan
Di dalam Alkitab (di dalam Kej 2:21-24) jelas disebutkan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Dan ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa seks diberikan Allah dalam konteks keluarga sejak dari mulanya. Allah menetapkan seks untuk digunakan di antara seorang pria dan wanita di dalam ikatan pernikahan heteroseksual (suami-istri).[14] Allah tidak pernah merencanakan adanya lembaga pernikahan antara kaum homoseksualitas sehingga pernikahan seperti itu tidak dapat diterima.
3.3 Homoseksual adalah akibat dari kefasikan
Di bagian Alkitab dikatakan bahwa karena dosa dan kebebalan manusia, Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang tidak setimpal untuk kesesatan mereka (Rom 1:26-27).
3.3 Homoseksual ditentang oleh Tuhan
Praktik homoseksual tidak dapat dibenarkan Allah. Maka dari itu tetap salah jika seseorang mengatakan bahwa praktek homoseksual adalah akibat dari perkembangan zaman yang semakin modern, dimana ada alternatif untuk melakukan praktik homoseksual. Beberapa bagian Alkitab berikut menunjukkan bahwa homoseksualitas dilarang oleh Alkitab :
a) Kej 19:1-13: Dosa Sodom adalah dosa homoseksualitas. Kesimpulan ini diambil karena beberapa bukti, pertama, dalam pasal ini, kata Ibrani yadha berarti ‘melakukan hubungan seksual’. Hal ini terlihat jelas ketika Lot menunjuk pada kedua anak perempuannya sebagai yang belum pernah “dijamah” laki-laki untuk meredakan emosi orang-orang Sodom. Tawaran anak-anak perempuan ini tentulah mempunyai konotasi seksual. Kedua, sepuluh dari dua belas kali kata yadha ini dipakai dalam Kitab Kejadian adalah menunjuk kepada hubungan seksual (lihat Kej 4:1,25)[15]. Ketiga, Yudas 7 mencatat dosa Sodom adalah dosa percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar. Tentulah ‘ketakwajaran’ ini menunjuk kepada dosa homoseksualitas masyarakat Sodom. 
b) Imamat 18:22: melarang laki-laki bersetubuh dengan laki-laki. Secara lebih luas dan logis prinsip ini pastilah juga mencakup larangan terhadap persetubuhan antara perempuan dengan perempuan. Jadi ini mengindikasikan bahwa homoseksual sangat melanggar kekudusan, dan ditentang oleh Tuhan.
c) 1 Korintus 6:9-10:  penelitian terhadap kata dalam bahasa Yunani malakoi (kata untuk banci) dan arsenokoitai (orang pemburit), menurut tradisi kedua kata ini dihubungkan dengan homoseksualitas.[16] Kata-kata yang digunakan Paulus dalam 1 Korintus 6:9 sama juga dengan yang digunakan dalam 1 Timotius 1:10.
d) Roma 1:26-27: Alkitab mengatakan bahwa  praktek homoseksualitas merupakan perwujudan nafsu yang memalukan, sesat dan mereka yang melakukannya dikatakan sedang melakukan kemesuman, sehingga mereka akan menerima balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.

3.4 Homoseksual tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah
Allah menyebut tindakan homoseksual sebagai dosa. Pandangan “teolog gay” yang mengatakan bahwa penghukuman bagi pelaku penyimpangan seks hanya sekedar pendapat Paulus seharusnya dilihat dan dipahami bahwa Rasul Paulus pun memiliki wibawa ilahi. Surat Paulus di dalam 1 Kor 6:9-10 dikatakan bahwa orang yang tidak bermoral, yang menyembah berhala, yang berzinah, pelacur, pemburit atau homoseks, tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah.
Lagipula, penafsiran terhadap Yesaya 56:5 mengenai kerajaan Allah tidak dimaksudkan bagi kaum homoseks, tetapi mengenai sida-sida. Yesus pun berbicara mengenai sida-sida yang melepaskan kemungkinan menikah demi kerajaan Allah (Mat 19:11-12).
Bagian Alkitab Yudas mengatakan bahwa kota Sodom dan Gomora adalah kota yang dikutuk Allah karena homoseksualitas. Dan dalam bagian tersebut dikatakan dengan tegas bahwa “mereka telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang” (Yudas 7). Ini menandakan bahwa tidak ada homoseksual yang akan mewarisi kerajaan Allah.

IV.             Kesimpulan dan Saran Bagi Gereja Masa Kini
a.      Kesimpulan
Allah menetapkan bahwa seks harus digunakan di dalam konteks hubungan heteroseksual yang monogami. Jadi praktek homoseksual bertentangan dengan standar moral dan pola yang telah Allah tetapkan kepada manusia. Kaum homoseksual tetap adalah manusia yang berpribadi yang tentu memiliki struktur dan penilaian moral. Meskipun ada sentuhan psikologis dan biologis, namun sikapnya yang berkecenderungan untuk berhubungan seks dengan sejenis merupakan suatu pilihanan yang disadari. Ini berarti pelaku homoseks tidak dapat meniadakan tanggungjawab etika, moral, dan sosial dari pelaku homoseks itu sendiri.
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Alkitab, penulis berpendapat bahwa Gereja seharusnya tidak dapat mensahkan, mendukung, atau memberkati perilaku homoseksual yang menyimpang. Gereja harus berani mengambil langkah tegas untuk menolak toleransi terhadap kaum homoseks. Sebab jika gereja mengijinkan hal ini, berarti gereja mendukung perbuatan dosa yang dilakukan oleh mereka.

b.      Saran bagi Gereja
1)  Gereja tidak boleh mendukung kaum homoseksual dalam melakukan propaganda bahwa homoseksual adalah perilaku yang wajar dan natural. Sebab bagaimanapun, perilaku homoseksual dikecam oleh Alkitab, dan Tuhan membenci penyimpangan ini. Untuk itu gereja tidak memiliki hak untuk memberkati pengantin homoseksual, menahbiskan pendeta gay maupun lesbi, atau mendirikan gereja khusus bagi kaum homoseksual.
2) Gereja tidak boleh mengucilkan atau menolak mereka sama sekali. Sudah tertalalu sering kaum homoseksualitas di hina dan menjadi bahan tertawaan atau cibiran bagi masyarakat. Akibatnya, mereka mengalami perasaan  tertolak yang sangat hebat sehingga berkesimpulan bahwa tidak ada seorang pribadi pun yang sungguh-sungguh mengasihi mereka. Di sinilah gereja perlu melihat melalui kacamata Allah bahwa Allah mengasihi orang yang berdosa. Maka gereja tidak boleh mengucilkan dan menolak mereka sama sekali, tetapi tetap mengasihi mereka. Walaupun Alkitab jelas sekali melarang homoseksualitas, namun Allah tetap mengasihi manusianya. Alkitab berkata bahwa Yesus Kristus datang untuk memanggil orang berdosa, supaya mereka bertobat (Luk 5:32). Allah mengasihi orang-orang homoseksualitas sehingga Yesus Kristus harus turun ke dunia dan mati di kayu salib agar mereka memperoleh bagian dalam kasih Allah.
2) Peran gereja adalah merangkul, membimbing, dan mengarahkan mereka. Jika  kaum homoseksual mengaku sebagai orang yang percaya dan menjadi anggota dari sebuah gereja, orang yang masih mempraktikkan homoseksual ini harus diberikan disiplin gereja (bdk 1 Kor 5). Disinilah peran gereja untuk menyadarkan mereka bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang ditentang oleh Tuhan. Namun, ini tidak berarti gereja tidak memperlakukannya dengan kasih. Tetapi ini adalah usaha untuk menolong mereka. Gereja harus membantu mereka untuk dapat keluar dari belenggu homoseksualitas. Dan hanya dengan kelahiran kembali dalam Kristus yang memberikan seseorang kehidupan yang baru (ciptaan baru, 2 Kor.5:17), hidup yang lama sudah berlalu dan hidup yang baru dalam Kristus sudah datang. Dalam hidupnya  yang baru ini, kuasa Roh Kudus ada di dalam dia dan dengan kuasa itulah mereka dapat melepaskan belenggu homoseksualitas. Terlebih Tuhan yang akan memampukan dan menguatkan mereka untuk berubah jika mau sungguh-sungguh mengikut Tuhan. Disinilah peran gereja yang dituntut keaktifannya dalam membimbing, mengarahkan, dan membina mereka untuk berjalan ke arah yang benar sesuai kebenaran Firman Tuhan.
3) Mensupport dan tidak mengungkit-ungkit masa lalu. Dalam persepektif Alkitab, ingatan tentang masa lalu yang penuh dosa dapat dipakai iblis untuk menimbulkan rasa tidak layak dihadapan Allah sehingga manusia cenderung akan kembali kepada dosa-dosanya. Ingatan-ingatan tentang masa lalu akan membuat seorang homoseksualitas merasa rendah diri, malu, dan kotor. Karena itu, perlu ditekankan apa yang dilakukan Paulus dalam Filipi 3:14, “…aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku…” Para pelaku homoseksual harus berusaha melupakan semua kenangan tentang aktifitas homoseksual dan dosa-dosanya karena Allah juga sudah melupakan semua dosa-dosanya (Yes.43:25). Dan bagian gereja adalah mendukung, mensupport, dan membangun, bukan mengungkit-ungkit masa lalu buruk mereka.
4) Mengajak mereka untuk bersekutu bersama. Mereka memerlukan teman untuk berdoa bersama, dan berbagi pergumulan. Dalam hal ini harus diingat bahwa menjaga kerahasiaan adalah hal yang mutlak. Disinilah peran para anggota gereja untuk menjadi teman bagi mereka. Sebaliknya, jangan mengucilkan mereka atau menganggap mereka sebagai anggota masyarakat yang berbahaya.
6)  Memberi dukungan dalam hal-hal praktis, perlu ditekankan kepada jemaat yang lain untuk mendukung bekas homoseksual untuk lepas dari kebiasaan buruknya. Misalnya: bagi teman-teman yang berjenis kelamin sama jangan membicarakan hal-hal yang berbau seksual, jangan membuka pakaian dihadapan mereka, dan sebagainya.


























Daftar Pustaka

Bailey, Derrick Sherwin, Homosexuality and Western Christian Tradition, London, 1955.
Boswell, John, Christianity, Social Tolerance, and Homosexuality, London : University of Chicago Press, 1980.
Consiglio, William, Tidak Lagi Homo, Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1998.
Geisler, Norman L., Etika Kristen Pilihan dan Isu, Malang: Literatur SAAT, 2003.
Herlianto, Aids dan Perilaku Seksual, Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1995.
Lahaye, Tim, What Everyone Should Know About Homosexuality, Illinois : Living Books, 1995.
McNeil, John J., The Church and the Homosexuality, Kansas City, 1976.
Moberly, Elizabeth R., Homosexuality : A New Christian Ethic, England : James Clarke and Co Ltd, 1988.
Moss, Roger, Christians and Homosexuality, Exeter : The Paternoster Press Ltd, 1987.
Olson, Jeff, Memahami Pergumulan Tentang Homoseksualitas, Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2005.
Payne, Leanne, The Healing of The Homosexual, Illinopis : Crossway Books, 1989.
Worthen, Frank, Mematahkan Belenggu Homoseksualitas, Malang : Gandum Mas, 1990.


[1] Tim Lahaye, What Everyone Should Know About Homosexuality, (Illinois : Living Books, 1995), hlm. 20.
[2] Jeff Olson, Memahami Pergumulan Tentang Homoseksualitas, (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2005), hlm. 10.  
[3] Herlianto, Aids dan Perilaku Seksual, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1995), hlm. 41.
[4] William Consiglio, Tidak Lagi Homo, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1998), hlm. 21.
[6] Aids dan Perilaku Seksual, hlm. 54.
[7] Frank Worthen, Mematahkan Belenggu Homoseksualitas, (Malang : Gandum Mas, 1990), hlm. 13.  
[8] Ibid, hlm 19.
[9] Ibid, hlm. 62.
[10] Mereka mengungkapkan hal ini dalam bukunya Derrick Sherwin Bailey, Homosexuality and Western Christian Tradition, (London, 1955). John J. McNeil, The Church and the Homosexuality, (Kansas C ity, 1976)
[11] John Boswell, Christianity, Social Tolerance, and Homosexuality, (London : University of Chicago Press, 1980), hlm. 107.
[12] freethinker
[13] Norman L. Geisler, Etika Kristen Pilihan dan Isu, (Malang: Literatur SAAT, 2003), hlm. 342.
[14] Ibid, hlm. 342.
[15] Ibid, hlm. 333.
[16] Mematahkan Belenggu Homoseksualitas, hlm. 25.