Agustus 31, 2010

Respon Injili Terhadap Dekonstruksi Konsep Kristologi Oleh Kaum Pluralis


  1. Pendahuluan
Menurut Stevri Indra Lumintang, persoalan teologi Kristen berakar pada persoalan Kristologi. Sehingga melalui pemahaman Kristologinya, akan dapat dilihat posisi teologi seseorang, apakah ia adalah seorang yang injili, pluralis, universalis, atau gabungan dari antaranya. Dengan kata lain, mengenal posisi teologi seseorang bukanlah hanya berdasarkan pernyataan-pernyataan teologisnya yang muncul di seluruh disiplin teologi, melainkan harus berangkat dari akar teologi itu sendiri, yakni kristologinya.1 Masalah Kristologi ini jugalah yang merupakan salah satu tema yang paling disorot oleh kaum Pluralisme.
Sudah sejak lama kaum Pluralis berusaha dengan keras untuk mengembangkan ajaran yang dapat di terima oleh agama-agama lain agar agama Kristen mampu terlibat dalam dialog antar-agama, yang tujuannya adalah memberikan sumbangan kepada kemanusiaan melalui kerjasama antar umat beragama. Misalnya terhadap masalah-masalah seperti lingkungan hidup, kemiskinan, ketidak adilan, kebodohan dan konflik tak bisa dimengerti dan tidak mungkin dipecahkan kecuali ada kerjasama antara agama-agama. Namun karena ada masalah dalam Kristologi yang dapat menjadikan benteng yang merintangi Kekristenan untuk dapat melakukan dialog yang korelasional dengan agama-agama lain, maka kaum pluralis mencoba merekonstruksi bangunan Kristologi agar mereka dapat masuk ke ranah dialog antar-agama.
Kaum Pluralis menganggap bahwa konsep Kristologi yang selama ini telah di pegang kekristenan ternyata hampir tidak memberi peluang untuk membuka kemungkinan ke arah dialog yang korelasional. Untuk itu kaum Pluralis mencoba menggagas kembali doktrin Kristologi Kristen agar dapat masuk ke dalam dialog yang lebih terbuka dengan agama-agama lain.
Di bawah ini penulis membahas tentang Kristologi yang di gagas oleh kaum Pluralis. Penulis mulai membahas konsep krostologi kaum pluralis dimulai dari latarbelakang bangkitnya kristologi kaum pluralis, kemudian metode pendekatan yang dipakai, dan kristologi yang dibangun, lalu yang terakhir melihat respon kaum Injili terhadap teologi kristologi kaum pluralis. Mengingat kaum Injili sebagai kelompok yang masih memakai rumusan tradisional/ortodok dalam teologinya.

  1. Kristologi yang Dibangun Oleh Kaum Pluralis
    a. Latar Belakang Bangkitnya Kristologi Pluralis
Persoalan kristologi sebenarnya sudah dimulai sejak gereja mula-mula. Persoalan teologi kristologi ini dilatarbelakangi oleh beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah dunia, yaitu renaissance (zaman bangkitnya gelombang pemikiran humanisme)2, rasionalisme,3 dan enlightment4. Ketiga gerakan inilah yang melatarbelakangi lahir dan berkembangnya teologi liberal yang bermula dari persoalan kritik Alkitabnya, dan yang mempertajam persoalan teologi Kristen.
Dengan berkembangnya teologi liberal, maka muncullah persoalan-persoalan Kristologi yang dipelopori oleh para teolog liberal, dengan kritik Alkitab yang menggunakan metode-metode ilmiah untuk menyelidiki Yesus dalam Alkitab.5 Penyelidikan ini menghasilkan rumusan teologi kristologi baru yang bertolak belakang dengan rumusan tradisional/orthodok (Injili). Hasil penelitian ini kemudian ditumbuh-kembangkan oleh kaum pluralis dengan cara memasukkan jiwa pluralisme dalam kristologi. Model pendekatan kristologi pluralisme didefinisikan oleh Coward sebagai ”pendekatan terhadap agama-agama lain berdasarkan kristologi yang menganggap bahwa Yesus Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik. Yesus Kristus adalah wahyu yang universal untuk seluruh umat manusia.”6


b. Metode Pendekatan Kristologi Kaum Pluralis

Dalam melakukan pendekatan Kristologi, kaum Pluralisme memakai dua metode. Metode yang pertama adalah Kristologi dari bawah dan yang kedua adalah Kristologi fungsional yang merupakan pertentangan dari bawah.

  1. Kristologi dari bawah
Kristologi dari bawah (the Christology from Below) merupakan pertentangan dengan kristologi dari atas. Metode pendekatan ini berusaha memahami ketuhanan Yesus dimulai dari kemanusiaan Yesus, yang berasal dari Nazaret, kemudian cara Ia menjadi Allah. Pendekatan ini kontras dengan kristologi dari atas (the Christology from above) yang dimulai dengan Yesus sebagai Anak Allah, kemudian baru bertanya bagaimana caranya Ia menjadi manusia. Salah satu alasan mereka tidak memakai kristologi dari atas adalah karena menurut mereka kristologi dari atas cenderung mengabaikan arti sejarah Yesus.
  1. Kristologi Fungsional
Kristologi ini bertentangan dengan kristologi ontologis yang menekankan mengenai pribadi Yesus, yaitu apa yang terkait dengan pertanyaan ”siapakah Yesus”. sedangakan kristologi fungsional lebih menekankan pada pengalaman beragama, pengalaman batin dengan Yesus. Kristologi ini bagi mereka merupakan jalan untuk mewujudkan kristologi yang kontekstual.


c. Kristologi yang Dibangun Kaum Pluralis
  1. Kristologi Liberal
Pada umumnya kaum pluralis adalah penganut teologi Liberal. Dalam melihat kristologi, mereka mempersoalkan Yesus sejarah. Sehingga mereka melakukan studi kritis mengenai keorisinilan teks-teks Alkitab dan melihat relasi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan. Kesimpulan yang mereka dapatkan adalah, apa yang ditulis oleh para penulis Injil tentang Yesus, sesungguhnya bukanlah Yesus yang benar-benar ada secara historis, melainkan Yesus menurut pikiran para murid atau para penulis Injil. Jadi pada umumnya teologi pluralis mendasarkan kristologi mereka pada Yesus sejarah. Seperti yang diungkapkan oleh Roy Eckard bahwa ”Kristologi harus didasarkan pada Yesus Sejarah..”.
Marcus J. Borg, seorang peneliti Yesus sejarah menyimpulkan bahwa : Yesus adalah seorang pribadi yang diisi oleh roh Allah, guru hikmat yang bijaksana, seorang nabi sosial, dan seorang pendiri gerakan pembahauruan.7 Jadi dalam kristologi pluralis liberal, mereka tidak memandang lagi keunikan Yesus. Mereka menganggap bahwa Yesus bukanlah Allah. Yesus adalah sama dengan para pempin agama-agama yang lain.
Kaum Pluralis menolak bahwa keselamatan hanya di dalam Yesus. Penolakan kaum pluralis terhadap finalitas karya Yesus ini nyata, seperti apa yang dikatakan oleh Stanley Samartha (Teolog India), ”All Christian approaches to other religions based on a theory of anonymous Christianity or cosmic Christology.” Dan juga apa yang dikatakan oleh Ioanes Rakhmat, yang memegang konsep sub-ordinasionisme dan menolak Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
Ioanes Rahmat juga seorang yang dapat disebut teolog Pluralis Indonesia, ia juga merupakan penganut Yesus Sejarah. Ia percaya bahwa kematian tentang Yesus dalam kitab Injil adalah ciptaan penulis, dan ia pun membedakan ucapan asli Tuhan Yesus dan yang produk dari para penulis. Yesus Seminar menyatakan bahwa : Yesus tidak pernah menuntut diriNya disebut dan diakui sebagai Mesias. Iohanes Rahmat pernah berkata :

Dengan adanya sub-ordinasionisme fungsional di dalam Injil Yohanes, penulis Injil ini (Yohanes) memandang figur ”Anak Manusia” sebagai suatu ”oknum” atau ”hakikat” adikodrati yang lebih rendah kedudukan-Nya dari Allah, yang dalam ketaklukan-Nya kepada Allah menerima tugas pengutusan untuk turun ke dalam dunia. Kedudukan Anak Manusia yang ”lebih rendah” ini menyiratkan bahwa oknum ”Anak Manusia” itu adalah oknum atau suatu hakikat adikodrati yang terpisah dari Allah.”

Tokoh Pluralisme Asia yaitu Choan Seng Song juga sangat tidak menyetujui jika orang Kristen menyembah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Karena bagi dia tindakan itu adalah penyembahan kepada berhala. Bagi Song Yesus sendiri bukan Tuhan dan Yesus tidak pernah menyatakan diri-Nya Tuhan.
  1. Kristologi Kontekstual
Kristologi Kontekstual adalah Kristologi yang dipahami dalam kemajemukan budaya yang ada di dunia. Salah satu tokoh yang memabangun kristologi kontekstual adalah Anton Wessel. Dalam bukunya yang berjudul Memandang Yesus, ia berusaha membangun Kristologi yang kontekstual yang dapat dipahami dalam semua konteks budaya diluar Eropa. Menurutnya, usaha kontekstualisasi ini merupakan usaha yang pantas, karena tidak menyangkal hakikat Kristus. Kristologi dalam konteks budaya ini diupayakan kaum Pluralis untuk menegaskan kehadiran Allah bagi penganut Theosentrisme dalam setiap budaya yang terkait dengan agama. Seperti yang dituliskan oleh Choan Seng Song, dalam penggambaran narasinya mengupayakan berteologi dalam konteks kemajemukan budaya di Asia.8 Song sangat dipengaruhi oleh sidang raya gereja-gereja se-dunia di Upsalla (1968) dan hal ini nyata melalui konsep-konsepnya. Song menekankan bahwa sejarah keselamatan bukan hanya menyangkut aspek keselamatan yang bersifat rohani saja, melainkan juga berkaitan dengan keselamatan manusia dari dehumanisasinya karena masalah sosial, politik dan ekonomi.
Disamping membangun Kristologi dalam konteks kemajemukan budaya, kaum Pluralis juga berupaya untuk membangun Kristologi kontekstual yang didasarkan atas konteks kemajemukan agama. Sugirtharajah, beranggapan bahwa “rancangan-rancangan yang bangun kristologis memperlihatkan bahwa orang tidaklah perlu mengacu kepada hal-hal yang sudah ada sebelumnya atau kepada model-model yang disimpan sebagai sesuatu yang suci di dalam kitab Injil yang disahkan oleh tulisan-tulisan kanonik.”9 Ia juga mengatakan “rumusan-rumusan kristologis ini muncul terutama dari kepentingan teologis Yesus dan amanat-Nya...”10. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa Kristologi yang benar adalah kristologi yang sesuai dengan konteks apapun. Bukan atas rumusan doktrin yang kaku. Sehingga kristologi yang kontekstual yang perlu diupayakan adalah kristologi yang dapat di terima oleh agama-agama lainnya.
  1. Kristologi Kosmik
Kristologi Kosmik pertama kali dipopulerkan oleh teolog Katolik yang memandang Yesus sebagai penyelamat hadir tanpa batas tempat dan waktu untuk menyelamatkan semua manusia sekalipun tanpa mengakui ke-TuhananNya.11 Mereka diantaranya adalah Karl Rahner dengan teori Anonymous Christian-nya, yang menyatakan bahwa Kristus juga hadir dalam agama-agama lain tanpa Yesus. Kemudian Raimond Panikkar dengan teori Unknown Christ of Hinduism, yang mengajarkan bahwa Kristus tidak hanya dalam pengertian Kristus yang historis, melainkan juga yang ada dalam pikiran orang Hindu. Selanjutnya Stanley Samartha dengan teori Unbound Christ of Hinduism, menyatakan bahwa Kristus tidak terbatas dalam ikatan agama dan budaya saja, katakanlah dalam agama Kristen dengan Yesus Nazaret sebagai Tuhannya, melainkan Yesus juga berada dalam agama dan budaya yang lain, seperti agama Hindu dan budaya India.

4. Kristologi Yang Theosentris
Kristologi yang theosentris ini dimunculkan oleh Paul F. Knitter dan John Hick. John Hick menolak pendekatan “kristosentris” terhadap agama-agama lain karena pendekatan ini tidak sesuai lagi dengan konteks pada jaman ini lagi. Ia mengusulkan pendekatan “Teosentris” dimana Allah juga menjadi pusat dari agama-agama yang lain. Hick dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh konsep Karl Rahner dengan konsepnya “Anonymous Christian”. Oleh karena itu ia menolak peryataan bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:3).12 Bagi Hick apa yang tercatat di dalam Injil mitos atau lagenda sifatnya termasuk juga tentang pribadi dan karya Yesus.  Hick berani menyerukan agar untuk setiap orang Kristen untuk membuka diri untuk mencari pengertian yang baru tentang Yesus di dalam sejarah dan di dalam konteks sekarang.
Seperti Hick, Paul Knitter juga percaya bahwa model theosentris berisi harapan terbesar bagi dialog antar agama di masa depan dan bagi evolusi yang terus dilanjutkan atas makna Yesus Kristus bagi dunia ini. Ia mengatakan bahwa : “keunikan Yesus bukanlah sebagai kebenaran yang total, definitif, tidak tertandingi, tetapi Dia membawa a universal, decisive, indispensable truth.”13 Pemahaman semacam ini memandang Yesus bukan sebagai tokoh yang eksklusif atau bahkan yang normatif. Melainkan theosentris, sebagai pengejahwantahan dari penyataan dan keselamatan Ilahi yang relevan untuk umum. Lebih lanjut Knitter menegaskan pandangan theosentris mengikuti contoh jalan Yesus yang berpusat pada Kerajaan Allah14 (namun intinya tentang Kerajaan Allah itu sendiri bersifat theosentris). Kristosentrisme sendiri dari Perjanjian Baru tidak melepaskan theosentrisme yang dipegang Yesus. Oleh sebab itu bagi Knitter, dengan teologi misi yang berpusat pada Kerajaan Allah (theosentris), umat Kristen akan lebih mudah menentukan prioritas. S Wesley Ariarajah juga menegaskan bahwa “penemuan suatu teologi theosentris akan membuat orang-orang Kristen dapat, tanpa mematikan kesaksian mereka tentang Yesus Kristus, berdiri berdampingan dengan orang-orang dari kepercayaan-kepercayaan lain sebagai anak-anak dari Allah yang satu.” Menegaskan hal ini Samartha berpendapat bahwa “seorang Kristen harus mendekati dialog atas dasar Teosentrisnya dan bukan dasar Kristosentris. Hal ini membebaskan orang Kristen dari anggapan diri sebagai pemilik wahyu satu-satunya”.15 Jadi konsep thesentris yang dimaksudkan oleh Samartha yang mewakili tokoh pluralis, mengabaikan kristosentris sama sekali demi tujuan dialog itu sendiri.

  1. Respon Injili Terhadap Pendekatan Kristologi Kaum Pluralis
Dalam merespon kaum Pluralis tentang pandangan mereka mengenai kristologi ini, kaum Injili tetap teguh. Kaum Injili berpendapat bahwa untuk dapat menemukan Kristologi yang lengkap, tetap harus kembali kepada Alkitab. Sebab sesuatu yang diketahui tentang Yesus di luar Perjanjian Baru sangat sedikit sekali, bahkan jika sekalipun ada justru diperlukan pembahasan yang tentunya harus lebih ketat dari penjelasan Alkitab. Menurut kaum Injili, kristologi dari bawah dan kristologi fungsional yang dijadikan metode pendekatan oleh kaum pluralis pada hakekatnya sama dengan kristologi kaum sekularis.
Dibawah ini adalah respon kaum Injili terhadap rekonstruksi Kristologi dari dasar yang tradisional yang dilakukan oleh kaum Pluralis :
    1. Kristologi yang Liberal
Para tokoh teologi pluralisme selalu mempunyai presuposisi bahwa semua sejarah dalam dunia ini adalah penyataan Allah dan kebenaran Allah, termasuk di dalamnya aspek keselamatan. Dengan pandangan yang seperti ini mereka menganggap Yesus hanya manusia biasa yang ada dalam sejarah dan tidak unik. Karena bagi mereka Yesus sama dengan tokoh-tokoh dari pendiri agama yang lain. Mereka lupa bahwa Yesus Kristus itu adalah Allah Pencipta. Namun kaum Injili percaya bahwa Allah ada di dalam sejarah dan diatas sejarah, yang mengontrol sejarah dan yang melampaui sejarah.
Mengenai pendapat Iohanes Rahmat, kaum Injili berpendapat bahwa apa yang tercatat di di dalam Injil Yohanes justru tidak sama dengan apa yang dipaparkan oleh Ioanes. Seluruh isi dari Injil Yohanes yang mempunyai tujuan yaitu: ”Supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Jadi apa yang di duga oleh Ioanes dan juga Hick bahwa Yesus Kristus bukan Tuhan dan Juruselamat menurut Injil Yohanes adalah salah dan tidak sesuai dengan maksud atau tujuan dari Yohanes sendiri sebagai penulis.
Untuk menemukan Yesus yang riil hanya bisa melihat dibalik kitab-kitab PB sebagai alur yang utama, telah terbukti bahwa tidak ada kesepakatan di dalam pemikiran para perumus Kristologi kontemporer. Sebab biasanya, pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan pada derivasi-derivasi bagian yang pendek dalam Alkitab terbukti tidak meyakinkan. Lebih lanjut, kaum Injili mengatakan bahwa tokoh-tokoh teologi pluralisme ini tidak memisahkan antara sejarah dunia sebagai bentuk Kronos dan sejarah kebenaran sebagai penyataan Allah yang bersifat khusus sebagai bentuk Kairos.  Jadi bagi mereka semua sejarah di dalam proses waktu keberadaannya sama dan tidak ada yang unik.
Menanggapi hal ini kaum Injili menekankan bahwa Yesus Kristus sudah ada sebelum dunia dijadikan dan sebelum Ia turun ke dunia menjadi serupa dengan manusia. Kristus tidak pernah ”menjadi” Anak Allah, pada saat kelahiran-Nya di dunia dan pada saat Ia hidup di dunia ini (Inkarnasi). Pada mulanya ”Dahulu” sampai ”Sekarang” Yesus Kristus tetap adalah Anak Kekal Allah, yang ada dan kekal bersama-sama dengan Allah Bapa. Yesus Kristus berani berkata bahwa: ”Sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (Yohanes 8:58). Perkataan Yesus ini tidak mungkin bohong, karena apa yang dilakukan Yesus di dalam karya-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat dapat membuktikan bahwa ia bukan penipu (pembohong) dan juga bukan orang yang berkata-kata seperti orang gila saja.
Dengan membaca Injil Yohanes justru akan menemukan konsep tentang ke Allahan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Misalnya apa yang tercatat di dalam: ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). ”Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Dan lebih jauh lagi penyataan ajaran Yohanes tentang ”Ego Emi” yang diikuti predikat ”Akulah Roti Hidup”, ”Akulah Terang Dunia”, ”Akulah Pintu”, ”Akulah Gembala yang baik”, ”Akulah kebangkitan dan hidup”, ”Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup”, ”Akulah Pokok Anggur yang benar”. Tujuh predikat ”Ego Emi” dalam Injil Yohanes mencatat ada lagi  ”Ego Emi” yang tidak diikuti predikat, misalnya: ”Sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu.”(Yoh 8:24). ”Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa ”Akulah Dia”. Perkataan Yesus tersebut sudah menjelaskan bahwa Yesus sungguh-sungguh Tuhan dan Juruselamat. Jadi bagi kaum Injili, Yohanes tidak pernah bermaksud mengajarkan supaya orang Kristen bersikap Pluralisme seperti yang dikatakan oleh Iohanes Rahmat. Justru sebaliknya Yohanes mengajar untuk eksklusive di dalam mempertahan kebenaran Kristus yang bersifat absolut, mutlak dan Final. Karena Yesus tidak mengajarkan suatu doktrin mengenai Allah Bapa yang bersifat universal, seperti yang dianggap oleh kaum pluralis.16
    1. Kristologi Kontekstual
Memang benar bahwa supaya Injil itu dipahami dan diterima sebagai sesuatu yang mengkomunikasikan kebenaran tentang situasi manusia yang nyata dan masuk akal, maka dia harus dikomunikasikan dalam bahasa orang-orang itu kepada mereka Injil itu dialamatkan dan dibungkus dalam simbol-simbol yang mempunyai arti bagi mereka.17 Dan bagaimana Injil itu ”menjadi hidup” di dalam konteks yang khusus. Dengan banyak cara berbeda tentunya.
Namun kaum Injili berkata bahwa konteks tidak boleh menjadi dasar dan tujuan teologi. Menurut Lesslie Newbingin bahwa kitab suci harus menjadi titik tetap harus menjadi dasar bagi misi. Kontekstualisasi yang benar hanya dapat terjadi jika ada persekutuan yang hidup dengan setia pada Injil dan seperti dalam pelayanan Yesus didunia. Dr. Stevri Lumintang mewanti-wanti bahaya yang sering ditimbulkan oleh pendekatan kontekstualisasi dewasa ini, yaitu terlalu menekankan konteks sehingga mengikat dan mengontrol teks.18 Bagi kaum Injili, kaum pluralis memakai pendekatan dari bawah (from below), sehingga dalam upaya mendaratkan kebenaran Kristen dalam konteks kemajemukan agama, pergumulan sosial-politik, kemiskinan, dsb, kaum pluralis membangun teologi yang gampang diterima konteks (teologi gampangan) sekalipun harus mengkompromikan asas-asas dasar kebenaran Alkitab. Teologi ini disebut dengan teologi kebablasan.19
Kontekstualisasi juga tidak akan berarti bagi misi/dialog yang coba dibangun jika mengabaikan doktrin Trinitarian/Tritunggal. Kaum Injili menekankan bahwa misi itu bukan dari ide manusia, tetapi dari Allah sendiri. Namun tentang penebusan Kristus, kaum pluralis sendiri memiliki pemahaman yang berbeda tentang Kristologi. Kaum pluralis berfokus dan terlalu menekankan pada aspek Theosentrisnya, namun mengabaikan kristoliginya. Kaum injili juga setuju dengan kontekstualisasi untuk dapat masuk dalam dialog antar agama. Namun semua itu harus bisa dievaluasi apakah itu murni berdasar Firman Allah.
    1. Kristologi Kosmik
Kristologi kosmik menggunakan kritik kanonik untuk membuktikan kehadiran Yesus di luar kekristenan. Itu berarti mereka harus menggali konsep Kristus yang ada di luar Alkitab.20 Menurut kaum Injili, ini jelas merupakan kesalahan yang fatal dalam berteologi. Kesalahan ini berkenaan dengan presuposisi kristologis mereka, yang pada umumnya sama dengan pandangan C.S. Song dan John Hick, bahwa pribadi kedua Allah Tritunggal berinkarnasi bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, disegala tempat dalam banyak wujud.
Para pelopor kristologi kosmik sebenarnya berusaha menemukan dukungan teks Alkitab untuk membangun teologi mereka yang hanya bertolak pada teks-teks tertentu yang sempit dan tidak memadai. Ketidak-memadaian kristologi ini selain karena pikiran kristologi ini sebagian berasal dari sumber-sumber di luar Alkitab, juga karena pandangan ini tidak melihat ajaran Alkitab secara keseluruhan.21 Ini merupakan tindakan menghancurkan Alkitab dan finalitas Yesus, dan menghancurkan agama sendiri. Ini merupakan sikap munafik terhadap agama lain, karena menyembunyikan atau membuang jati dirinya sendiri.
Sittler (dari kubu injili) menafsirkan Kolose 1:15-20 dengan memfokuskan penelitian terhadap pernyataan-pernyataan yang nampak secara eksplisit seperti “Segala Sesuatu yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” muncul enam kali dalam teks tersebut menerangkan mengenai pencapaian secara maksimum, dimana penebusan Allah adalah untuk seluruh alam semesta dalam jangkauan yang luas, dimana Kristus digambarkan disitu sebagai Kristus Kosmik yang menyelamatkan semua ciptaan. Sehingga Yesus tidak hanya dimengerti dalam pengertian Yesus Historis dari Nazaret melainkan juga Yesus yang menyatakan diri dalam semua ciptaan. Sangat jelas bahwa Kristologi kosmik ini merupakan interpretasi yang keliru, dan penggunaan sistem penafsiran yang terbuka. Hal ini ditandai dengan penggunaan kritik kanonik untuk membuktikan kehadiran Yesus diluar kekristenan.
    1. Kristologi yang Theosentris
Kaum injili juga memakai pendekatan teosentris dalam usaha membangun kontekstualisasi dan dialog dengan agama lain. Namun kaum Injili merasa perlu mengadakan evaluasi dan memurnikan konsep mereka tentang pendekatan teosentris mereka.22 Karena sistim teologi theosentris yang benar seharusnya berseberangan dengan semua sistem teologi yang menyebabkan bangkitnya sekian banyak teologi kontemporer yang antroposentris. Namun model kristologi theosentris yang diusung oleh kaum pluralis ini mengatakan bahwa banyak jalan ke pusat menjadi kontradiksi dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab. Memang pandangan kaum pluralis tentang teologi yang theosentris ini mengakibatkan keterbukaan yang makin terbentuk melintasi batas, dan semakin menimbulkan suatu pergeseran paradigma yang menjauhi normativitas atau absolutisme Kristus. Mereka membangun teologi yang theosentris untuk mendukung pemahaman dan penyembahan yang berpusat pada Allah yang memungkinkan suatu dialog antar agama yang lebih baik. Mereka berpendapat bahwa hal ini sepenuhnya mempertahankan kekhasan Kristen. Namun menurut kaum Injili, kekhasan Kristen itu tidak dapat kompromi untuk masalah ”jalan ke surga”.
Tidak semua agama yang menerima teologi yang theosentris. Menurut Coward, teologi theosentris juga masih merupakan hambatan bagi agama Budha yang tidak mengenal istilah Allah.23 Jadi pendekatan ini jika dilihat dari fungsinya mula-mula, yaitu tujuannya untuk membangun dialog, orang Injili akan berespon tidak positif jika harus mengkompromikan doktrin yang sudah dibentuk. Menurut kaum Injili, kaum pluralis menekankan theosentris tetapi mengabaikan sama sekali kristosentris. Seharusnya tidak jatuh pada ektrim yang demikian. Sebab menurut Ef 5:5 bahwa ”Kerajaan Allah adalah pada saat yang sama juga merupakan kerajaan Kristus.” Yesus Kristus berbicara tentang Allah Bapa sebagai pusat alam semesta, bukan berarti bahwa Bapa adalah pusat seluruh alam semesta sedangkan Yesus tidak. Melainkan Yesus mengajarkan bahwa kerajaan Bapa-Nya juga merupakan kerajaan-Nya. Jadi pusat segala sesuatu yang ada yang diciptakan ialah baik Allah Bapa maupun juga Tuhan Yesus.


IV. Kesimpulan
Masalah Kristologi merupakan yang paling disorot oleh kaum Pluralis. Mereka menganggap bahwa Yesus sama saja dengan tokoh-tokoh agama lain, Yesus yang ada di dalam Injil adalah mitos belaka. Yesus adalah seorang manusia bukan Allah dan bukan Tuhan. Dan menurut kaum pluralis, Yesus bukanlah jalan satu-satunya untuk ke surga.
Kaum Injili merespon konsep kristologi kaum pluralis, bahwa pendekatan kristosentris kaum Pluralis adalah pendekatan yang kompromistis yang dapat merusak sendi-sendi kekristenan yang utama. Karena pendekatan ini akan memaksa orang Kristen untuk menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakkan kebenaran Alkitab, serta memaksa orang Kristen untuk mengakui adanya kebenaran di luar Yesus, yaitu kebenaran yang diperoleh melalui mempelajari kebenaran agama lain.




Daftar Pustaka

Gnanakan, Ken, The Pluralistic Predicament, Bangalore : Theological Book Trust, 1992.
Herlianto, Yesus Sejarah – Siapakah Aku Ini?, Bandung : Yabina, 1997.
Hick, John & Paul Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001.
Knitter, Paul F., Menggugat Arogansi Kekristenan, Yogyakarta : Kanisius, 2005.
Knitter, Paul F., Pengatar Teologi Agama-Agama, Yogyakarta : Kanisius, 2008.
Kreamer, Hendrik, Why Christianity of All Religions?, Philadelphia : The Westmisnster Press, 1960.
Lumintang, Stevri I, Theologia & Misiologia Reformed, Batu : Departemen Literatur PPII, 2006.
Lumintang, Stevri Indra, Teologi Abu-Abu Pluralisme Iman, Malang : YPPII, 2002.
Newbigin, Lesslie, Injil Dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993.
Song, C. S, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993.
Sugirtharajah, R. S, Wajah Yesus di Asia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996.
Susabda, Yakub, Kaum Injili – Membangkitkan Kembali Iman Ortodoks, Malang : Gandum Mas, 1991.
Wessels, Anton, Memandang Yesus, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999.
1 Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Iman, (Malang : YPPII, 2002), hlm. 103.
2 Pada zaman ini terjadi kesadaran yang baru bagi pemikiran dan budaya (puncaknya pada adab ke 15-16). Pada masa humanisme ini, terjadi kebebasan berteologia, dan kebebasan berilmu pengetahuan, serta kebebasan dalam gereja. Namun penekanan humanisme itu sendiri bahwa manusia sebagai pusat hidup bagi dirinya sendiri.
3 Rasionalisme membuang segala hal yang berbau supranatural dalam teologia tradisional. Pada zaman ini segala sesuatu dimengerti melalui akal budi, serta perhatian manusia beralih dari Allah kepada manusia. (+ abad ke-17).
4 Zaman ini manusia semakin menonjolkan kemampuan dan kemandirian akal budi. Akal budi menempati otoritas tertinggi bagi manusia. Pada zaman ini muncul banyak filsuf, dan ada banyak filsuf yang mempengaruhi dunia teologia dan kekristenan. (+ abad ke-18).
5 Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Iman, hlm. 121.
6 Ibid, hlm. 154.
7 Herlianto, Yesus Sejarah – Siapakah Aku Ini?, (Bandung : Yabina, 1997), hlm. 88.
8 Dapat di lihat dalam bukunya yang berjudul Sebutkanlah nama-nama kami. Terbitan BPK Gunung Mulia, 1993.
9 R. S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 3.
10 Ibid, hlm. 4.
11 Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Iman, hlm. 118.
12 Dapat dilihat dalam tulisan John Hick yang berjudul “Ketidakmutlakkan Agama Kristen” -- John Hick & Paul Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 55.
13 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta : Kanisius, 2005), hlm. 160.
14 Ibid, hlm. 178.
15 Harold Coward, Pluralisme, hlm. 76.
16 Lumintang, Teologi abu-abu (ed revisi), hlm. 496.
17 Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 198.
18 Strevi Lumintang, Teologi Abu-Abu (edisi revisi), (Jawa Timur : Gandum Mas, 2004), hlm. 628.
19 Lumintang, Teologi Abu-Abu (ed. Revisi), hlm. 628.
20 Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Iman, hlm. 119.
21 Ibid, hlm. 120.
22 Lumintang, Theologia & Misiologia Reformed, hlm. 444.
23 Harold Coward, Pulralisme, hlm. 53.