Oktober 11, 2010

Homoseksualitas di Dalam Gereja (Pandangan Alkitab Mengenai Homoseksualitas)


I.                   Pendahuluan
Dalam era keterbukaan seperti sekarang ini, semua orang semakin berani dan penuh percaya diri dalam menampilkan eksistensi diri. Setiap orang bebas mengekspresikan siapa dirinya tanpa takut jika ada yang menentang. Jika pada zaman dahulu kaum homoseks malu mengakui bahwa dirinya gay atau lesbi, saat ini mereka sudah berani mengakui jati diri mereka secara terang-terangan di depan publik. Atas nama “persamaan hak”, kaum homoseks memakainya untuk mengkampanyekan homoseksual. Mereka berpendapat bahwa hubungan seks dengan sesama jenis merupakan suatu “gaya hidup alternatif”[1] yang menyenangkan, modern, dan alamiah. Dan barangsiapa yang menentangnya dianggap kurang toleran dalam masyarakat yang majemuk ini. Kaum homoseksual pun mendapat dukungan dari berbagai kalangan (sosial, psikologi, agama, dll). Bahkan saat ini beberapa negara sudah melegalkan perkawinan sejenis, seperti di Belanda, Belgia, Norwegia dan Swedia.
Melihat fenomena seperti ini, mau tidak mau gereja juga harus angkat bicara mengenai hal ini. Walaupun masih lebih banyak gereja yang tidak mentolerir kaum homoseks, namun saat ini sudah mulai banyak gereja-gereja yang mendukung dan mengakomodasi ibadah serta sakramen bagi orang-orang homoseks. Masalah gereja dan homoseksualitas telah menjadi isu yang sangat hangat bagi gereja bahkan hal ini telah menimbulkan perdebatan yang ramai akhir-akhir ini. Beberapa kasus yang ramai dibicarakan contohnya bahwa saat ini sudah ada gereja yang melayani pernikahan bagi kaum gay dan lesbian. Di Malaysia sudah ada gereja yang didirikan secara khusus bagi kaum homoseks. Bahkan baru-baru ini seorang gay sudah dilantik menjadi uskup di New Hampshire.
Pertanyaan yang akan sering ditanyakan mengenai hal ini adalah, apakah benar perilaku homoseks itu normal, wajar, dan bukan dosa? Apakah tindakan yang bijaksana bila orang Kristen mendirikan gereja bagi kaum homoseks, dan memberkati pernikahan dari pasangan sesama jenis? Bagaimanakah seharusnya gereja memperlakukan kaum homoseksual?
Melalui paper ini penulis berusaha mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, serta mengusulkan tindakan-tindakan yang tepat dalam memperlakukan kaum homoseksual kepada gereja. Penulis berharap melalui tulisan yang singkat ini dapat bermanfaat bagi gereja, lebih dari sekedar wacana, tetapi juga relfleksi.

II.                Homoseksualitas Dalam Gereja
2.1.   Definisi dan penyebab
Wikipedia memberi penjelasan, bahwa homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Atau dengan kata lain, homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis.[2] Dalam bahasa Yunani, homoss artinya sama.[3] Homoseksualitas pada laki-laki biasanya disebut dengan gay, dan pada perempuan disebut lesbian. Homoseksualitas, biasanya dibandingkan dengan heteroseksualitas (menyukai lawan jenis) dan biseksualitas (banci).
Menurut Dr. William Consiglio, perilaku homoseksualitas merupakan suatu penyimpangan yang paling umum dilakukan manusia yang merupakan disorientasi seksual.[4] Perilaku homoseksualitas telah menjangkiti begitu banyak manusia dengan tidak memandang usia, strata ekonomi, pendidikan, suku, dan agama. Sampai saat ini jumlah kaum homoseksual semakin hari semakin bertambah. Walaupun pada nyatanya banyak kaum homoseksual yang menyembunyikan identitasnya sehingga mempersulit akurasi laporan, namun banyak laporan yang beredar belakang ini menyatakan bahwa dari 2 hingga 3,3% dari populasi pria adalah homoseksual secara eksklusif.[5] Memang perilaku menyimpang homoseksual sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan Alkitab pun membuat kesaksian. Namun pada zaman ini, tindakan mereka lebih terang-terangan, dan mendapat toleransi dari berbagai pihak, bahkan juga dari gereja.
Ada mitos yang mengatakan bahwa homoseks merupakan bawaan dari lahir. Para aktivis homoseks mengklaim bahwa ketertarikan kepada sesama jenis adalah bawaan dari lahir dan tidak dapat dirubah. Mereka mengutarakan bahwa homoseks bukanlah sebuah pilihan. Karena perilaku homoseks dikarenakan gen/bawaan sejak lahir. Hal ini lah yang terkadang mereka gunakan untuk mempropagandakan homoseks, bahwa perilaku ini adalah perilaku yang alami dan wajar.
Namun para ahli mengatakan bahwa penyebab homoseksualitas itu sendiri sangat kompleks. Seorang psikolog terkenal Amerika yang bernama Clyde M. Narramore menyebutkan bahwa “umumnya homoseksualitas merupakan hasil perkembangan kepribadian yang tidak normal” dan ia menyebut adanya beberapa kondisi yang mungkin menyebabkan hal itu, yaitu: 1) Gangguan hormonal. Namun penelitian-penelitian lebih lanjut belum mendukung. 2) Faktor Genetika. Penelitian-penelitian lebih lanjut juga belum mendukung. 3) Ibu yang dominan; 4) Ayah yang lemah; 5) Orang tua yang kejam; 6) Pernikahan orang-tua yang tidak bahagia; 7) Dimanjakan oleh orang-tua yang sama jenisnya; 8) Pendidikan seks yang keliru. [6]
Lebih jauh, banyak pakar yang menangani kelainan seksual berpendapat bahwa sejatinya homoseksual bukan disebabkan karena faktor genetika, tetapi karena faktor lingkungan, dan  secara khusus yang berhubungan dengan penerimaan/afeksi dari orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Frank Worthen, ia mengatakan :

“Sesudah membimbing ribuan bekas homoseks selama pelayanan sepuluh tahun atau lebih, kami telah belajar banyak mengenai keadaan homoseks. Kami yakin bahwa akar homoseksual yang terdalam ialah retaknya hubungan dalam keluarga yang mengakibatkan ketiadaan rasa memiliki dan dimiliki atau ketiadaan pengakuan.”[7]

Pendapat-pendapat ini cukup membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada orang yang terlahir gay atau lesbi. Masa kanak-kanak adalah masa-masa identitas dan kepribadiannya mulai dibentuk. Dan anak-anak yang mengalami keretakan dalam keluarganya lebih berpotensi untuk menjadi homoseks. Sebab anak itu terpengaruh oleh cara bagaimana ia bereaksi terhadap keretakan dalam keluarga. Gay, lesbi, biseks, umumnya adalah orang yang menderita trauma emosional atau pelecehan seks sewaktu masa kecil dan selanjutnya karena distimulasi oleh rangsangan erotis yang tidak semestinya pada masa remaja mereka. Dalam banyak kasus, sesuatu yang traumatik terjadi dalam kehidupan seseorang yang menciptakan “konflik identitas gender”. Pada akhirnya mengakibatkan penyimpangan emosional yang dapat menjurus kepada homoseks.

2.2. Fenomena homoseksual dalam gereja
Akhir-akhir ini para “teolog gay” telah menyajikan pandangan yang baru mengenai homoseksualitas.[8] Kemungkinan inilah yang membuat Gereja pada saat ini mulai menganggap bahwa homoseksualitas bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Alkitab. Contoh-contoh fenomena yang terjadi dalam gereja saat ini antara lain :
1.      Sudah ada sebuah gereja khusus bagi kalangan homoseksual. Gereja ini sudah didirikan selama tiga tahun terakhir ini di pinggiran Kuala Lumpur. Gereja ini didirikan oleh pendeta Ouyang Wen Feng yang juga seorang gay.
2.      Seorang gay yang bernama Gene Robinson ditahbiskan menjadi Uskup oleh sebuah Gereja Episkopal dari Gereja Anglikan di New Hamspire, Amerika Serikat pada tanggal 2 November 2003. Yang lebih aneh lagi, kebaktiannya dihadiri oleh pasangan gay-nya Mark Andrew, mantan isterinya, dua anaknya, orang tuanya, dan sekitar 50 Uskup Amerika.
3.      Sudah banyak Gereja di Amerika dan Eropa yang mentahbiskan pendeta gay dan lesbian.
4.      Denominasi gereja kaum homoseks pun sudah berdiri, dan di Indonesia sudah ada Gereja cabangnya.
5.      Di Amerika Serikat ada teolog Kristen yang bernama Troy Perry yang berusaha mengembangkan “Teologi Gay’ untuk mengubah pandangan Alkitab dan umat terhadap kaum gay agar mereka juga berkiprah di Gereja. Ia mengatakan bahwa Allah mengasihi setiap orang, termasuk yang homoseks. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya; Tuhan menciptakan orang yang homoseks. Oleh karena itu homoseksualitas merupakan suatu pemberian Allah.
6.      Sinode bersama Italia Waldensian dan gereja-gereja Methodis Protestan sebagai badan tertinggi di denominasi, setuju untuk mengotorisasi berkat dari pasangan yang sama-seks di gereja.
7.      Dsb. (masih banyak lagi fenomena kontemporer tentang homoseksual yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu).

2.3. Beberapa alasan yang menjadi landasan “diterimanya” homoseksualitas dalam gereja
Dalam kalangan Kristen sendiri, terdapat banyak argumen yang dikemukakan untuk mendukung perilaku homoseksual ini, yang kemudian menjadi titik berangkat “diterimanya” homoseksualitas dalam gereja.
a.      Homoseks adalah anugerah Allah. Ini merupakan salah satu argumen yang diberikan oleh Troy Perry, seorang pendeta gay yang telah dikeluarkan dari Gereja Pentakosta, yang berkata, “Allah mengasihi setiap orang, termasuk orang homoseks; Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya; Ia menciptakan orang homoseks; oleh karena itu, homoseksualitas merupakan suatu “pemberian Allah”; Allah menerima saya dan  homoseksualitas saya sebagai sesuatu yang baik; Allah ingin saya mendirikan sebuah gereja untuk kaum homoseksualitas.”[9] Troy sendiri adalah pendiri Metropolitan Christian Church (MCC), sebuah gereja khusus untuk kaum homoseksual.
b.      Alkitab tidak berbicara mengenai homoseksualitas. Akhir-akhir ini para “teolog gay” telah menyajikan pandangan yang baru mengenai homoseksualitas. Seperti Derrick Sherwin Bailey dan John McNeill. Mereka mengatakan bahwa “Allah tidak berbicara mengenai pokok homoseksualitas sebagaimana kita mengenalnya dewasa ini.”[10] Misalnya saja, pendapat mereka bahwa peristiwa Sodom dan Gomora bukanlah merupakan hukuman atas dosa homoseksualitas, tetapi hanya karena mementingkan diri sendiri dan ketidakramahan. Bahkan banyak ahli yang berpendapat bahwa kata yang digunakan untuk istilah “pemburit” tidak ada sangkut-pautnya dengan homoseksualitas.[11]
c.       Homoseksual bukanlah dosa yang mengakibatkan penghukuman dari Allah. Pendapat ini didasakan atas anggapan bahwa hukuman yang diarahkan kepada pelaku penyimpangan seksual dalam surat-surat Paulus merupakan pendapat pribadi dari Paulus sendiri (1 Kor 7:25). Jadi pendapat Paulus yang menentang homoseksual tidaklah mengikat. Demikian juga dengan penafsiran atas Yesaya 56:5, bahwa sida-sida akan dimasukkan ke dalam kerajaan Allah.
d.      Homoseksualitas adalah perilaku yang normal. Seorang teolog Indonesia yang mengatakan bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang wajar dan tidak bertentangan dengan Alkitab adalah Iohanes Rahmat. Dalam artikelnya ia mengatakan :

“Tidak satu pun dari tujuh teks utama tentang homoseksualitas dalam kitab suci gereja yang telah dikupas singkat di atas mengutuk homoseksualitas dan perilaku homoseksual jika homoseksualitas ini dipahami sebagai suatu orientasi genetik seksual seseorang dan jika perilaku homoseksual ini dipandang sebagai suatu relasi homoseksual antar kalangan gay atau antar kalangan lesbian yang dibangun karena kesepakatan kedua mitra, yang dilandasi cinta dan dijaga oleh komitmen untuk membangun suatu persekutuan hidup yang langgeng…
Satu hal penting patut dicatat, bahwa perilaku homoseksual juga diperlihatkan oleh sejumlah binatang. Karena homoseksualitas pada binatang bukan timbul karena pola pergaulan yang tak bermoral, maka homoseksualitas pada binatang harus dipandang sebagai suatu pemberian alam, yang memperkaya kehidupan di Planet Bumi ini.”[12]

e.       Ajaran Gereja tradisional tentang homoseksualitas adalah salah. Hal ini dikemukakan oleh seorang Profesor yang paling terkemuka, yaitu John Boswell melalui bukunya Christianity, Social; Tolerance and Homosexuality. Ia melancarkan argumen filosofis berdasarkan penelitian sejarah dalam usahanya untuk membuktikan bahwa ajaran gereja mengenai homoseksualitas saat ini adalah salah. Ia mengatakan bahwa homoseksual adalah perilaku yang normal.  
Dan masih ada banyak lagi berbagai pendapat dan alasan dari pemikir Kristen sendiri yang membenarkan perilaku homoseksual. Mereka memandang bahwa homoseksual adalah perilaku yang wajar, normal, natural, anugerah Tuhan, tidak bertentangan dengan Alkitab, dsb.

III.             Pandangan Alkitab Mengenai Homoseksual
Dasar perilaku dan keputusan yang benar dalam menghadapi fenomena homoseksualitas yang benar hanya dapat dilihat dari perspektif Alkitab. Untuk itu kita harus melihat apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai hal ini, agar gereja memiliki landasan dalam menghadapi fakta tentang homoseksualitas.
3.1 Allah menganjurkan heteroseksual, bukan homoseksual
Allah menganugerahkan manusia dengan dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia sepasang, yaitu Adam dan Hawa. Keduanya kemudian membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan (Kejadian 1:27-28; 2:20-25). Hasrat seksual yang sejati seperti digambarkan dalam Kejadian 4:1 adalah heteroseksual (laki laki menyukai wanita dan sebaliknya). Allah sejak awal menetapkan hubungan heteroseksual ketika Dia menciptakan “laki-laki dan perempuan”.[13] Ini berarti heteroseksual adalah perilaku yang normatif. Lagipula Alkitab sering menggambarkan relasi antara Allah dan bangsa Israel (umat-Nya) seperti hubungan suami-istri.
Allah tidak pernah menciptakan seseorang dengan natur homoseksualitas. Dengan dasar ini pula penulis menolak pendapat yang mengatakan bahwa seseorang berperilaku homoseksual karena faktor genetika. Mengapa? Karena bila faktor genetika dapat diterima, maka sebenarnya kita sedang mengatakan bahwa Allahlah yang menciptakan natur homoseksualitas sejak manusia dalam kandungan (bnd. Maz 139:13). Namun, karena Alkitab tidak pernah memberi indikasi bahwa Allah menciptakan hal itu, maka kita dengan pasti dapat menolak faktor genetika (yang mengindikasikan sesuatu yang normal) sebagai penyebab homoseksualitas.

3.2 Allah menciptakan lembaga pernikahan bagi laki-laki dan perempuan
Di dalam Alkitab (di dalam Kej 2:21-24) jelas disebutkan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Dan ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa seks diberikan Allah dalam konteks keluarga sejak dari mulanya. Allah menetapkan seks untuk digunakan di antara seorang pria dan wanita di dalam ikatan pernikahan heteroseksual (suami-istri).[14] Allah tidak pernah merencanakan adanya lembaga pernikahan antara kaum homoseksualitas sehingga pernikahan seperti itu tidak dapat diterima.
3.3 Homoseksual adalah akibat dari kefasikan
Di bagian Alkitab dikatakan bahwa karena dosa dan kebebalan manusia, Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang tidak setimpal untuk kesesatan mereka (Rom 1:26-27).
3.3 Homoseksual ditentang oleh Tuhan
Praktik homoseksual tidak dapat dibenarkan Allah. Maka dari itu tetap salah jika seseorang mengatakan bahwa praktek homoseksual adalah akibat dari perkembangan zaman yang semakin modern, dimana ada alternatif untuk melakukan praktik homoseksual. Beberapa bagian Alkitab berikut menunjukkan bahwa homoseksualitas dilarang oleh Alkitab :
a) Kej 19:1-13: Dosa Sodom adalah dosa homoseksualitas. Kesimpulan ini diambil karena beberapa bukti, pertama, dalam pasal ini, kata Ibrani yadha berarti ‘melakukan hubungan seksual’. Hal ini terlihat jelas ketika Lot menunjuk pada kedua anak perempuannya sebagai yang belum pernah “dijamah” laki-laki untuk meredakan emosi orang-orang Sodom. Tawaran anak-anak perempuan ini tentulah mempunyai konotasi seksual. Kedua, sepuluh dari dua belas kali kata yadha ini dipakai dalam Kitab Kejadian adalah menunjuk kepada hubungan seksual (lihat Kej 4:1,25)[15]. Ketiga, Yudas 7 mencatat dosa Sodom adalah dosa percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar. Tentulah ‘ketakwajaran’ ini menunjuk kepada dosa homoseksualitas masyarakat Sodom. 
b) Imamat 18:22: melarang laki-laki bersetubuh dengan laki-laki. Secara lebih luas dan logis prinsip ini pastilah juga mencakup larangan terhadap persetubuhan antara perempuan dengan perempuan. Jadi ini mengindikasikan bahwa homoseksual sangat melanggar kekudusan, dan ditentang oleh Tuhan.
c) 1 Korintus 6:9-10:  penelitian terhadap kata dalam bahasa Yunani malakoi (kata untuk banci) dan arsenokoitai (orang pemburit), menurut tradisi kedua kata ini dihubungkan dengan homoseksualitas.[16] Kata-kata yang digunakan Paulus dalam 1 Korintus 6:9 sama juga dengan yang digunakan dalam 1 Timotius 1:10.
d) Roma 1:26-27: Alkitab mengatakan bahwa  praktek homoseksualitas merupakan perwujudan nafsu yang memalukan, sesat dan mereka yang melakukannya dikatakan sedang melakukan kemesuman, sehingga mereka akan menerima balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.

3.4 Homoseksual tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah
Allah menyebut tindakan homoseksual sebagai dosa. Pandangan “teolog gay” yang mengatakan bahwa penghukuman bagi pelaku penyimpangan seks hanya sekedar pendapat Paulus seharusnya dilihat dan dipahami bahwa Rasul Paulus pun memiliki wibawa ilahi. Surat Paulus di dalam 1 Kor 6:9-10 dikatakan bahwa orang yang tidak bermoral, yang menyembah berhala, yang berzinah, pelacur, pemburit atau homoseks, tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah.
Lagipula, penafsiran terhadap Yesaya 56:5 mengenai kerajaan Allah tidak dimaksudkan bagi kaum homoseks, tetapi mengenai sida-sida. Yesus pun berbicara mengenai sida-sida yang melepaskan kemungkinan menikah demi kerajaan Allah (Mat 19:11-12).
Bagian Alkitab Yudas mengatakan bahwa kota Sodom dan Gomora adalah kota yang dikutuk Allah karena homoseksualitas. Dan dalam bagian tersebut dikatakan dengan tegas bahwa “mereka telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang” (Yudas 7). Ini menandakan bahwa tidak ada homoseksual yang akan mewarisi kerajaan Allah.

IV.             Kesimpulan dan Saran Bagi Gereja Masa Kini
a.      Kesimpulan
Allah menetapkan bahwa seks harus digunakan di dalam konteks hubungan heteroseksual yang monogami. Jadi praktek homoseksual bertentangan dengan standar moral dan pola yang telah Allah tetapkan kepada manusia. Kaum homoseksual tetap adalah manusia yang berpribadi yang tentu memiliki struktur dan penilaian moral. Meskipun ada sentuhan psikologis dan biologis, namun sikapnya yang berkecenderungan untuk berhubungan seks dengan sejenis merupakan suatu pilihanan yang disadari. Ini berarti pelaku homoseks tidak dapat meniadakan tanggungjawab etika, moral, dan sosial dari pelaku homoseks itu sendiri.
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Alkitab, penulis berpendapat bahwa Gereja seharusnya tidak dapat mensahkan, mendukung, atau memberkati perilaku homoseksual yang menyimpang. Gereja harus berani mengambil langkah tegas untuk menolak toleransi terhadap kaum homoseks. Sebab jika gereja mengijinkan hal ini, berarti gereja mendukung perbuatan dosa yang dilakukan oleh mereka.

b.      Saran bagi Gereja
1)  Gereja tidak boleh mendukung kaum homoseksual dalam melakukan propaganda bahwa homoseksual adalah perilaku yang wajar dan natural. Sebab bagaimanapun, perilaku homoseksual dikecam oleh Alkitab, dan Tuhan membenci penyimpangan ini. Untuk itu gereja tidak memiliki hak untuk memberkati pengantin homoseksual, menahbiskan pendeta gay maupun lesbi, atau mendirikan gereja khusus bagi kaum homoseksual.
2) Gereja tidak boleh mengucilkan atau menolak mereka sama sekali. Sudah tertalalu sering kaum homoseksualitas di hina dan menjadi bahan tertawaan atau cibiran bagi masyarakat. Akibatnya, mereka mengalami perasaan  tertolak yang sangat hebat sehingga berkesimpulan bahwa tidak ada seorang pribadi pun yang sungguh-sungguh mengasihi mereka. Di sinilah gereja perlu melihat melalui kacamata Allah bahwa Allah mengasihi orang yang berdosa. Maka gereja tidak boleh mengucilkan dan menolak mereka sama sekali, tetapi tetap mengasihi mereka. Walaupun Alkitab jelas sekali melarang homoseksualitas, namun Allah tetap mengasihi manusianya. Alkitab berkata bahwa Yesus Kristus datang untuk memanggil orang berdosa, supaya mereka bertobat (Luk 5:32). Allah mengasihi orang-orang homoseksualitas sehingga Yesus Kristus harus turun ke dunia dan mati di kayu salib agar mereka memperoleh bagian dalam kasih Allah.
2) Peran gereja adalah merangkul, membimbing, dan mengarahkan mereka. Jika  kaum homoseksual mengaku sebagai orang yang percaya dan menjadi anggota dari sebuah gereja, orang yang masih mempraktikkan homoseksual ini harus diberikan disiplin gereja (bdk 1 Kor 5). Disinilah peran gereja untuk menyadarkan mereka bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang ditentang oleh Tuhan. Namun, ini tidak berarti gereja tidak memperlakukannya dengan kasih. Tetapi ini adalah usaha untuk menolong mereka. Gereja harus membantu mereka untuk dapat keluar dari belenggu homoseksualitas. Dan hanya dengan kelahiran kembali dalam Kristus yang memberikan seseorang kehidupan yang baru (ciptaan baru, 2 Kor.5:17), hidup yang lama sudah berlalu dan hidup yang baru dalam Kristus sudah datang. Dalam hidupnya  yang baru ini, kuasa Roh Kudus ada di dalam dia dan dengan kuasa itulah mereka dapat melepaskan belenggu homoseksualitas. Terlebih Tuhan yang akan memampukan dan menguatkan mereka untuk berubah jika mau sungguh-sungguh mengikut Tuhan. Disinilah peran gereja yang dituntut keaktifannya dalam membimbing, mengarahkan, dan membina mereka untuk berjalan ke arah yang benar sesuai kebenaran Firman Tuhan.
3) Mensupport dan tidak mengungkit-ungkit masa lalu. Dalam persepektif Alkitab, ingatan tentang masa lalu yang penuh dosa dapat dipakai iblis untuk menimbulkan rasa tidak layak dihadapan Allah sehingga manusia cenderung akan kembali kepada dosa-dosanya. Ingatan-ingatan tentang masa lalu akan membuat seorang homoseksualitas merasa rendah diri, malu, dan kotor. Karena itu, perlu ditekankan apa yang dilakukan Paulus dalam Filipi 3:14, “…aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku…” Para pelaku homoseksual harus berusaha melupakan semua kenangan tentang aktifitas homoseksual dan dosa-dosanya karena Allah juga sudah melupakan semua dosa-dosanya (Yes.43:25). Dan bagian gereja adalah mendukung, mensupport, dan membangun, bukan mengungkit-ungkit masa lalu buruk mereka.
4) Mengajak mereka untuk bersekutu bersama. Mereka memerlukan teman untuk berdoa bersama, dan berbagi pergumulan. Dalam hal ini harus diingat bahwa menjaga kerahasiaan adalah hal yang mutlak. Disinilah peran para anggota gereja untuk menjadi teman bagi mereka. Sebaliknya, jangan mengucilkan mereka atau menganggap mereka sebagai anggota masyarakat yang berbahaya.
6)  Memberi dukungan dalam hal-hal praktis, perlu ditekankan kepada jemaat yang lain untuk mendukung bekas homoseksual untuk lepas dari kebiasaan buruknya. Misalnya: bagi teman-teman yang berjenis kelamin sama jangan membicarakan hal-hal yang berbau seksual, jangan membuka pakaian dihadapan mereka, dan sebagainya.


























Daftar Pustaka

Bailey, Derrick Sherwin, Homosexuality and Western Christian Tradition, London, 1955.
Boswell, John, Christianity, Social Tolerance, and Homosexuality, London : University of Chicago Press, 1980.
Consiglio, William, Tidak Lagi Homo, Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1998.
Geisler, Norman L., Etika Kristen Pilihan dan Isu, Malang: Literatur SAAT, 2003.
Herlianto, Aids dan Perilaku Seksual, Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1995.
Lahaye, Tim, What Everyone Should Know About Homosexuality, Illinois : Living Books, 1995.
McNeil, John J., The Church and the Homosexuality, Kansas City, 1976.
Moberly, Elizabeth R., Homosexuality : A New Christian Ethic, England : James Clarke and Co Ltd, 1988.
Moss, Roger, Christians and Homosexuality, Exeter : The Paternoster Press Ltd, 1987.
Olson, Jeff, Memahami Pergumulan Tentang Homoseksualitas, Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2005.
Payne, Leanne, The Healing of The Homosexual, Illinopis : Crossway Books, 1989.
Worthen, Frank, Mematahkan Belenggu Homoseksualitas, Malang : Gandum Mas, 1990.


[1] Tim Lahaye, What Everyone Should Know About Homosexuality, (Illinois : Living Books, 1995), hlm. 20.
[2] Jeff Olson, Memahami Pergumulan Tentang Homoseksualitas, (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2005), hlm. 10.  
[3] Herlianto, Aids dan Perilaku Seksual, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1995), hlm. 41.
[4] William Consiglio, Tidak Lagi Homo, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1998), hlm. 21.
[6] Aids dan Perilaku Seksual, hlm. 54.
[7] Frank Worthen, Mematahkan Belenggu Homoseksualitas, (Malang : Gandum Mas, 1990), hlm. 13.  
[8] Ibid, hlm 19.
[9] Ibid, hlm. 62.
[10] Mereka mengungkapkan hal ini dalam bukunya Derrick Sherwin Bailey, Homosexuality and Western Christian Tradition, (London, 1955). John J. McNeil, The Church and the Homosexuality, (Kansas C ity, 1976)
[11] John Boswell, Christianity, Social Tolerance, and Homosexuality, (London : University of Chicago Press, 1980), hlm. 107.
[12] freethinker
[13] Norman L. Geisler, Etika Kristen Pilihan dan Isu, (Malang: Literatur SAAT, 2003), hlm. 342.
[14] Ibid, hlm. 342.
[15] Ibid, hlm. 333.
[16] Mematahkan Belenggu Homoseksualitas, hlm. 25.

1 komentar:

  1. Thanks untuk postingannya. Baik untuk dijadikan juga bahan diskusi teologi moral Kristen!

    BalasHapus