Berbicara tentang misi, tidak bisa dilepaskan dari konteks. Tetapi yang menjadi tujuan utama adalah manusianya. Inti dari misi yaitu menyelesaikan masalah dosa (metanoia). Hal ini hanya dicapai melalui Yesus. Pekerjaan misi yaitu mengangkat ”dosa” kepermukaan.
Misi adalah pelaksanaan mandat Allah yang diberikan kepada manusia. Secara etomologis (asal usul kata), misi berasal dari bahasa Latin yaitu missio yang artinya adalah kabar baik. Misi dari bahasa Yunani disebut ekklesia. Misi adalah mandat Allah. Mandat Allah itu sendiri ada dua, yaitu :
nMandat Penatalayanan (Kej. 1:26-28) atau biasa disebut sebagai Mandat Budaya. Mandat budaya ini ditujukan untuk manusia pada umumnya.
nMandat Injil (Mat. 28:19-20) atau biasa disebut Amanat Agung. Amanat agung ini ditujukan untuk setiap umat Allah.
Menurut Martin Kahler, dasar misi dapat dilihat dari konteks dan tema-tema dalam Alkitab. Tema dalam Perjanjian Lama adalah : misi Allah untuk menyelamatkan manusia dilihat berdasarkan janji Allah tentang keselamatan bagi bangsa Israel. Selain itu, Perjanjian Baru merupakan dokumen tentang misi. Penulus PB menulis untuk mengajak pembacanya supaya bermisi, bukan berteologi. Jadi, misi adalah induk teologi.
Amanat Agung menggunakan bentuk imperatif, sehingga amanat tersebut merupakan suatu perintah bagi gereja. Amanat Agung ada 5 sumber, yaitu 4 Injil (Mat 28:17-20; Mark 16:14-18; Luk 24:44-49; Yoh 20:19-23) dan Kisah Para Rasul 1:8. Demikian juga untuk mandat Penatalayanan. Tuhan ingin agar manusia tidak hanya 2 orang saja untuk mengurusi bumi. Mandat ini bukan hanya untuk orang Kristen saja, tetapi untuk semua orang. Berbicara mengenai hal ini berarti berbicara mengenai konsep stewardship, bukan sekedar pelayan, tetapi diberikan kuasa untuk melayani (berbicara tentang tanggungjawab yang memiliki otoritas, tanggungjawab, dan kuasa). Misi Kristen terdapat dalam Mark 10:44-45 (prinsip pelayanan Kristen).
Jadi, gereja memang sudah selayaknya melakukan kedua mandat ini. Gereja tidak bisa melakukan yang satu dan mengabaikan yang lain. Tetapi misi harus melaksanakan pelayanan yang holistik, pelayanan yang utuh yang melaksanakan Amanat Agung dan Mandat Penatalayanan. Kekristenan yang tidak melakukan Amanat Agung adalah kekristenan yang omong kosong. Bagaikan iman tanpa perbuatan yang adalah mati. Bagaikan gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing (1 Kor 13:1). Gereja harus mengikuti teladan misionernya Yesus. Yesus melakukan misi terlihat jelas ketika Ia melakukan percakapan dengan perempuan Samaria. Missio Khristo (Kol 1:2) à Yoh 20:21. Yesus sendiri adalah misionaris yang misioner.
Ada beberapa Unsur-unsur dalam bermisi :
(1) Unsur yang mengutus. Unsur yang mengutus ini sering disebut sebagai Badan Misi / BM;
(2) Unsur yang diutus. Unsur yang diutus ini disebut dengan Utusan Badan Misi / UBM;
(3) Unsur yang menerima utusan. Unsur yang menerima utusan disebut sebagai Ladang Misi / LM.
Ruang lingkup misi berdasarkan latar belakang budaya penerima oleh para misionaris dapat dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya :
1. M.0 (Mission Zero). Untuk masyarakat dengan latar belakang suku dan kebudayaan yang sama. Misalnya : Orang Jawa melakukan misi untuk orang Jawa.
2. M.1 (Mission One). Untuk masyarakat yang berbeda suku bangsa tetapi memiliki kebudayaan yang hampir sama. Ex: Orang Batak Karo melakukan misi untuk orang Batak Mandailing.
3. M.2. (Mission Two). Untuk masyarakat dengan suku yang berbeda tetapi tidak terlalu jauh perbedaannya. Ex: suku Dayak melakukan misi untuk suku Melayu, suku Jawa untuk suku Aceh, dsb.
4. M.3. (Mission Three). Untuk bangsa dan kebudayaan yang berbeda. Ex : misi dari orang Indonesia kepada bangsa lain di India.
Menurut Dr, Bambang Eko Putranto, penulis buku Misi Kristen menjangkau jiwa menyelamatkan dunia, (Yogyakarta : Andi, 2007), trend misi modern saat ini lebih diarahkan pada keperluan suku-suku tertentu. Berpusat pada gol-gol tertentu. Ex: kesaksian hidup, menaikkan taraf pendidikan, khusus untuk mendirikan jemaat, dll. Tetapi yang jelas, misi tetap harus menjangkau kebudayaan. Orang Kristen seharusnya menjadi culture man, yaitu orang yang mengembangkan pola hidup yang berbudaya. Definisi kebudayaan itu sendiri adalah pola hidup homogen sekelompok masyarakat. Cara menjangkau kebudayaan adalah dengan melakukan kontekstualisasi. Ada 3 pedoman dalam melakukan kontekstualisasi :
- Netral
- Dapat diubah (muatan maknanya yang tidak Alktabiah)
- Tidak dapat diubah sama sekali (Sama sekali tidak dapat dipakai)
Tetapi harus diingat bahwa dalam bermisi hendaknya selalu memiliki sikap yang Kristosentris. Dalam menjalankan setiap program misi, sangat penting bagi kita untuk berdoa, memohon pimpinan Roh Kudus bagaimana cara memulainya.
Dalam pelayanan misi dapat dilakukan pendekatan-pendekatan tertentu selain melakukan kontekstualisasi. Misalnya melakukan pendekatan Religio Cultural, yaitu dengan membangun gereja. Atau dengan pendekatan Socio Cultural, yaitu dengan membangun Lembanga Swadaya Masyarakat, atau misalnya membuat lembaga seperti LPPBS yang bertujuan untuk menggali budaya asli Sunda.
Lalu apakah yang bisa diharapkan dari pelayanan melalui seni budaya? Ada banyak hal sebenarnya yang dapat dilakukan dalam mengejawantahkan misi yang menjangkau kebudayaan dan bersifat kontekstual. Misalnya saja dalam konteks budaya Indonesia, kita dapat :
• Melakukan pemeliharaan seni & budaya etnis Indonesia.
• Penghapusan cap kolonial pada orang-orang Kristen etnis.
• Dalam mengingat Bhinneka Tunggal Ika, harus diperhatikan bahwa Indonesia bukan negara berdasar hanya pada satu agama tertentu. Jadi, perlu mempertahankan azas tunggal Pancasila & UUD’45.
• Memperkenalkan kebenaran, nilai-nilai dan kebajikan alkitabiah melalui sarana seni dan budaya.
Contoh yang lebih konkrit lagi dalam menjalankan misi yang kontekstual misalnya adalah dengan mendirikan sekolah-sekolah Kristen dengan beasiswa namun tetap mengutamakan hadirnya pengajar-pengajar yang berkualitas.
Misi adalah tanggungjawab bagi kita yang telah menerima injil. Injil bagaikan air yang mengalir dari satu tempat ketempat yang lainnya. Jika tidak dialirkan, maka akan air tersebut akan tergenang dan genangannya akan menjadi busuk. Misi bukan hanya tenggungjawab gereja saja, tetapi tiap-tiap orang yang sudah menerima Injil. Tidak ada orang yang tidak mampu menjalankan misi. Tiap orang pasti bisa berbuat sesuatu untuk misi sesuai dengan talenta masing-masing.
Dengan demikian maka kita dapat melakukan trasformasi. Yaitu proses perubahan dalam multidimensi (sering digambarkan sebagai metamorfosis kupu-kupu). Dengan melakukan enkulturasi. Enkulturasi merupakan pembudayaan sehingga terbentuk world view. World view adalah sense of believe yang dipengaruhi oleh enkulturasi.
Misi dapat kita laksanakan baik di desa maupun di kota. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara desa dan kota. Namun pelayanan desa ataupun kota tidak dapat didikotomikan. Sebab pada akhirnya kelak, desa pun akan menjadi kota. Kemudahan transportasi, tehnologi, dan komunikasi yang semakin mudah ditemukan bahkan di desa-desa, akan membuat desa cepat menjadi kota. Pelayanan di pedesaan yang efektif adalah dengan mempersiapkan kader-kader Kristen. Melakukan pelayanan di pedesaan atau mungkin di pedalaman, mungkin kebanyakan orang tidak menghargai.
Berbicara tentang kota tentu dalam benak kita terpikir tentang kumpulan banyak orang. Hal ini merefleksikan bahwa kota pasti ada sesuatu yang menarik. Dapat dilihat dari ciri-cirinya. Ciri-ciri kota :
© Padat
© Gedung-gedung yang menjulang tinggi
© Pusat perekonomian
© Sarana dan prasarana lengkap
© Peredaran uang lebih besar
© Urbanisasi
© Individualisme
© Lapangan pekerjaan
© Subburb
© Kriminalitas dan premanisme juga menjamur
© dll
Perkembangan kota tentu banyak ekses-eksesnya. Ex : ekses sosial, dsb. Urban ministry bukan hanya melayani orang-orang kota yang kaya, tetapi juga orang-orang yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Ex : anak jalanan, tunawisma, tukang becak, pemulung, dsb. Karena berbicara tentang misi berarti berbicara tentang manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar